Sabtu, 25 September 2010

Bab 4 Pentingnya Zakat dan Keutamaannya - Hadits ke 7

Hadits ke-7

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Jika kalian telah menunaikan zakat, maka kalian telah menunaikan tanggung jawab kalian (selebihnya termasuk kategori sunnah). Dan barangsiapa mengumpulkan harta yang haram kemudian bersedekah dengannya, maka ia tidak mendapat pahala bersedekah, bahkan berdosa karena mengumpulkan harta yang haram terbeban ke atasnya.", (H.R Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, dan Hakim; At-Targhib)

Keterangan:
Hadits ini mengandung dua pokok permasalahan. Pertama, yang diwajibkan terhadap harta adalah zakat. Kedua, selain itu termasuk sedekah nafil. Dalam hadits yang lain disebutkan, "Barangsiapa telah membayar zakat, berati ia telah menunaikan hak yang diwajibkan atasnya, dan apa yang lebih dari itu lebih utama." (Kanzul-'Ummal)
Di dalam hadits dari Dhimam bin Tsa'labah r.a. yang terkenal dan telah termuat di dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan yang lainnya dengan sanad yang berbeda disebutkan bahwa beliau bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai Islam dan rukun-rukunnya, kemudian Rasulullah saw. memberitahukannya secara terperinci, di antaranya adalah bahwa Rasulullah saw. menyebutkan zakat. Dhimam r.a. bertanya, "Adakah sesuatu yang diwajibkan atasku selain zakat?" Rasulullah saw. bersabda, "Tidak. Adapun jika kamu suka, kamu dapat memberikan selebihnya sebagai sedekah nafil."
Pada zaman Umar r.a., ada seseorang yang telah menjual rumahnya. Maka Umar r.a. berkata, "Simpanlah uang hasil penjualan itu di dalam lubang di rumahmu dengan hati-hati." Orang tersebut bertanya, "Bukankah perbuatan tersebut termasuk menimbun harta?" Umar r.a. berkata, "Harta yang telah dizakati tidak termasuk harta yang ditimbun."
Ibnu Umar r.huma. berkata, "Saya tidak akan peduli, jika saya mempunyai emas sebesar gunung Uhud, maka saya akan menunaikan zakatnya secara terus menerus, dan saya akan taat kepada Allah swt. secara terus menerus mengenainya." (Durrul-Mantsur)
Di dalam kitab hadits banyak terdapat riwayat semacam ini. Berdasarkan hal tersebut, keempat Imam Fiqih dan para ulama pada umumnya telah sepakat bahwa selain zakat, tidak ada yang diwajibkan atas harta. Akan tetapi masih ada kewajiban-kewajiban lainnya atas seorang muslim dalam menginfakkan hartanya seperti menafkahi istri atau anak-anak yang masih kecil, dan nafkah-nafkah lainnya yang wajib ke atas seorang muslim. Dalam hal ini termasuk juga menolong seseorang yang sedang menghadapi keperluan yang sangat mendesak, yaitu seseorang yang jika tidak segera diberikan minuman atau makanan kepadanya, maka ia akan mengalami kematian. Hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama (fardhu kifayah) untuk menyelamatkannya dari kematian.
Imam Ghazali rah.a. dalam kitabnya Ihya' 'Ulumiddin mengatakan bahwa sebagian tabi'in seperti Imam Nakha'i rah.a., Sya'bi rah.a., 'Atha' rah.a., dan Mujahid rah.a. berpendapat bahwa ada sesuatu yang diwajibkan atas harta selain zakat. Seseorang bertanya kepada Imam Sya'bi rah.a., "Adakah sesuatu yang diwajibkan atas harta selain zakat?" Ia menjawab, "Ya."
Lalu ia membaca ayat:
"Dan memberikan hartanya, demi cinta kepada-Nya..... (hingga akhir ayat)."
Ayat ini telah disebutkan pada Bab I Ayat ke-2. Mereka berpendapat bahwa hak-hak tersebut temasuk hak-hak orang Islam, yakni menjadi tanggung jawab orang kaya jika ia mengetahui ada orang miskin yang sangat memerlukan untuk memenuhi keperluannya. Menurut hukum fiqih, apabila ada seseorang yang berada dalam suatu keadaan yang sangat memerlukan, maka memenuhi keperluannya adalah fardhu. Tetapi para alim ulama berbeda pendapat mengenai bentuk pemberian yang diberikan kepada orang tersebut, yakni berbentuk sumbangan atau berbentuk pinjaman. (Ihya'). Menolong orang yang dalam keadaan darurat karena kelaparan, kehausan, atau sebab lain termasuk wajib. Akan tetapi tidak ada sesuatu yang diwajibkan atas diri orang kaya atas hartanya selain zakat. Dalam hal ini ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu Ifrath dan Tafrith.

1. Ifrath
Telah menjadi kebiasaan kita, jika kita memiliki sesuatu yang melimpah, maka kita sering menggunakannya dengan cara yang berlebihan. Berhati-hati dalam hal ini sangatlah diperlukan, jangan sampai kita mengambil milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Dalam keadaan darurat, para fuqaha memang memperbolehkan memakan harta milik orang lain sebagai usaha terakhir jika nyawa seseorang terancam. Akan tetapi dalam keadaan demikian, ulama madzhab Imam Abu Hanafi rah.a. menyatakan dua pendapat, yakni: (a) Baginya memakan bangkai lebih didahulukan daripada memakan harta orang lain, (b) Memakan harta orang lain didahulukan daripada memakan bangkai sebagaimana telah dicantumkan di dalam kitab-kitab fiqih dengan syarat ia benar-benar berada dalam keadaan yang membolehkannya memakan bangkai. Dalam kondisi demikian ini, seseorang diperbolehkan memakan harta orang lain, Allah swt. berfirman:

“Dan janganlah kamu memakan harta orang sebagian yang lain dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa urusan harta kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui."(Al-Baqarah: 188).
Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kalian berbuat zhalim kepada siapa pun, dan jangan mengambil milik seseorang kecuali atas izinnya." (Misykat) Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa mengambil sejengkal tanah milik orang lain dengan cara zhalim, pada Hari Kiamat lehernya akan dikalungi dengan paksa dengan segumpal tanah yang lebarnya satu jengkal, dan panjangnya terbentang hingga tujuh lapis bumi." (Misykat) Kisah mengenai utusan Hawazin kepada Rasulullah saw. sangat terkenal dalam sejarah. Setelah kaum Hawazin dikalahkan dalam suatu pertempuran, maka utusan mereka datang kepada Rasulullah saw. dengan tujuan untuk menerima Islam dan meminta kepada beliau agar mengembalikan harta dan orang-orang yang tertawan yang telah diambil sebagai harta rampasan. Rasulullah saw. bersabda bahwa kedua hal tersebut tidak dapat dikembalikan semuanya, kecuali hanya salah satu di antara keduanya, yakni orang-orang tawanan saja, atau harta saja. Kaum Hawazin lebih menginginkan orang-orang tawanan mereka. Rasulullah saw. bersabda kepada kaum muslimin, “Aku telah berjanji kepada kaum Hawazin untuk mengembalikan para tawanan. Maka barangsiapa di antara kalian yang mau melepaskan tawanan tanpa ada ganti ruginya, sebaiknya ia mengembalikannya. Dan barangsiapa yang menginginkan ganti rugi, maka kami akan memberikan kepadanya ganti ruginya." Para sahabat r.hum. menerima anjuran tersebut dengan senang hati. Sebagai ketaatan atas teladan Nabi Muhammad saw., mereka membebaskan semua tawanan dengan suka rela. Tetapi Rasulullah saw. bersabda, "Dalam kumpulan seperti ini, tidak dapat diketahui dengan pasti siapa saja yang memberikannya dengan senang hati, dan.siapa saja yang memberikannya dengan tidak senang hati. Oleh karena itu, biarlah pemimpin-pemimpin kalian berbicara dengan kalian secara pribadi, kemudian katakanlah kepadaku keputusannya." (Bukhari). Inilah teladan Rasulullah saw. mengenai kehati-hatian dalam menggunakan harta milik orang lain. Masih banyak hadits yang lain yang menguatkan hadits tersebut bahwa mengambil harta orang lain dengan paksa dan tanpa keridhaannya sama sekali tidak diperbolehkan. Para ulama sangat berhati-hati dan tidak menyukai sumbangan untuk suatu amal baik yang diberikan karena malu terhadap orang banyak. Oleh karena itu, di satu sisi sangatlah penting untuk menghindari ifrath, yakni jangan sampai mengambil harta orang lain dengan cara paksaan. Sekali-kali janganlah kita sampai melawan para ulama terdahulu, baik dengan perbuatan ataupun perkataan. Memang, tidak diragukan lagi bahwa keinginan untuk menolong orang miskin merupakan perbuatan yang patut dipuji. Akan tetapi hendaknya jangan melanggar adab dan cara yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Rasulullah saw. bersabda, "Orang-orang yang paling buruk adalah orang-orang yang telah merugikan akhiratnya sendiri demi keduniaan orang lain. (Misykat)

2. Tafrith

Demikianlah, bagaimanapun juga keadaannya, ifrath sebaiknya dihindari. Akan tetapi tidak kurang berbahayanya apabila ada kebiasaan bertindak berdasarkan standar minimum. Memang benar bahwa sesuatu yang wajib dari harta adalah zakat, tetapi tidaklah patut seseorang merasa sudah cukup hanya dengan memberikan sesuatu yang sifatnya wajib. Hadits-hadits yang dikutip dalam masalah ini telah menjelaskan bahwa harta yang akan memberikan manfaat bagi kita adalah harta yang disedekahkan di jalan Allah swt. ketika kita masih hidup. Setelah kita meninggal dunia, tidak ada lagi yang mengingatkan ibu ataupun bapak, istri, dan anak-anak supaya beramal untuk kita. Mereka akan menangis hanya dalam beberapa hari saja. Setelah itu, mereka akan kembali dalam kesibukan masing-masing dalam urusan dunia mereka. Kemudian dalam beberapa bulan dan tahun tidak ada seorang pun yang akan memikirkan orang yang telah meninggal dunia itu. Terlepas dari semua itu, berkenaan dengan hadits tersebut ada satu hal yang sangat penting yang perlu kita perhatikan, yaitu adanya kebiasaan meremehkan masalah-masalah agama, di antaranya anggapan yang menyatakan, "Kita adalah orang ahli dunia. Kita dapat melaksanakan suatu hal yang fardhu saja sudah lebih dari cukup. Adapun hal-hal yang bersifat sunnah merupakan pekerjaan bagi orang-orang ahli agama." Ini merupakan tipu daya syaitan. Amalan-amalan sunnah itu dilaksanakan untuk menyempurnakan amalan-amalan fardhu. Siapa yang bisa memastikan bahwa dirinya telah menyempurnakan fardhu Allah swt. Oleh karena itu, cara menyempurnakannya adalah dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah. Rasulullah saw. bersabda, "Setelah seseorang selesai dari shalatnya, dituliskan baginya pahala sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, dan separuhnya." Rasulullah saw. bersabda seperti di atas hanyalah sebagai contoh. Kalau shalat yang kita kerjakan ditulis seperseribu atau seperseratus ribunya saja sudah merupakan anugerah dari Allah swt. Kalau tidak, kita tahu sendiri mutu shalat kita. Bahkan karena amal buruk dan niat kita yang tidak ikhlas, mungkin nasib shalat kita sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang lain. Yakni shalat kita akan dilemparkan ke muka kita seperti kain buruk. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa amalan yang pertama kali dihisab pada Hari Kiamat adalah shalat. Allah swt. akan berfirman kepada malaikat, "Lihatlah shalat hamba-Ku, apakah shalatnya sempurna atau kurang. Jika shalatnya telah sempurna, maka akan dicatat kesempurnaannya. Dan jika shalatnya kurang, maka seberapa kekurangannya juga akan dicatat. Kemudian Allah swt. akan memerintahkan, "Periksa lagi, apakah ia mempunyai amalan-amalan sunnah atau tidak. Apabila ia mempunyai amalan-amalan sunnah, maka amalan-amalan fardhunya akan disempurnakan dengannya, setelah itu mengenai amalan zakat. (Kanzul-'Ummal). Yakni yang akan dihisab terlebih dahulu adalah zakat fardhu, kemudian baru akan disempurnakan oleh amalan sunnahnya. Setelah itu akan dihisab amalan-amalan yang lain dengan tertib seperti itu. (Abu Dawud) Dalam keadaan seperti ini, janganlah seseorang berpikir bahwa ia selalu menunaikan zakat dengan benar, padahal ia tidak mengetahui sejauh mana kesalahan yang terdapat di dalamnya. Karena di dalam memenuhi ibadah fardhunya, tidak ada orang yang dapat menjamin bahwa dirinya telah menunaikan ibadahnya dengan sempurna akibat adanya kelalaian dalam ibadah-ibadah kita. Oleh karena itu, ibadah nafil diperlukan untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan tersebut. Hendaknya kita melaksanakan ibadah sunnah sebanyak-banyaknya. Seperti seseorang yang pergi ke pengadilan, maka ia akan membawa sejumlah uang melebihi perhitungannya sebagai persiapan untuk menghadapi kemungkinan yang tidak terduga. Sedangkan mahkamah Allah swt. adalah mahkamah Yang Maha Agung, suatu mahkamah yang tertinggi, lebih tinggi dari pengadilan mana pun, di mana tak seorang pun yang dapat berbohong, bersilat lidah, atau menyanggah kebenaran. Allah lebih tinggi dari segala sesuatu, dan rahmat Allah swt. tidak terbatas. Dialah Sang Pemilik Kebenaran dan Maha Pengampun. Tetapi hal ini bukannya sesuatu yang mudah. Siapa pun orangnya, hendaknya jangan melakukan kemaksiatan dengan mengharap rahmat Allah swt.. Oleh karena itu, hendaknya setiap orang benar-benar memperhatikan kewajibannya dan senantiasa berusaha memenuhi syarat dan adab-adabnya, serta tidak segera merasa puas dengan hanya memenuhi kewajibannya saja. Bahkan karena kekhawatiran terhadap adanya kekurangan dalam melakukan amal ibadah fardhu, hendaknya khazanah amalan-amalan sunnah selalu ada di sisinya sebanyak-banyaknya untuk menyempurnakan kekurangannya tersebut.
'Allamah Suyuthi rah.a. di dalam kitab Mirqatush-Shu'ud menukilkan bahwa tujuh puluh amalan sunnah menyamai satu amalan fardhu. Oleh karena itu, amalan fardhu hendaknya dikerjakan dengan penuh perhatian, karena hanya dengan sedikit saja kekurangan yang ada padanya, perlu adanya amalan sunnah yang banyak untuk menyempurnakannya. Di samping melakukan amalan fardhu dengan penuh perhatian, untuk berjaga-jaga, hendaknya seseorang menyimpan di dalam catatan amalnya khazanah amalan sunnah yang banyak.
Kandungan kedua dalam hadits di atas adalah, barangsiapa mengumpulkan harta yang haram lalu bersedekah dengannya, maka ia tidak mendapatkan pahala bersedekah. Banyak disebutkan di dalam beberapa riwayat hadits bahwa Allah swt. menerima sedekah hanya dari harta yang halal. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Allah swt. tidak menerima sedekah harta yang ghulul. Ghulul berarti berkhianat dalam harta ghanimah. Para ulama menulis bahwa alasan disinggungnya ghulul dalam hadits ini adalah bahwa semua orang mempunyai bagian dari harta ghanimah. Apabila seseorang bersedekah dengan harta yang di dalamnya terdapat haknya sendiri saja, maka sedekahnya tidak diterima, apa lagi jika seseorang bersedekah dengan harta yang sama sekali bukan haknya, jelas sedekah tersebut tidak akan diterima oleh Allah swt.. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa memperoleh harta secara haram kemudian ia menggunakannya, maka ia tidak akan mendapatkan berkah. Dan jika harta tersebut ia sedekahkan, maka sedekahnya tidak diterima. Dan jika harta tersebut ia tinggalkan (wariskan), maka hal tersebut akan menjadi persediaannya di jahannam. Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Barangsiapa memperoleh harta dengan cara halal tetapi ia tidak menunaikan zakatnya, maka ia telah merusak hartanya sendiri. Dan barangsiapa memperoleh harta dengan cara haram lalu ia bersedekah, maka sedekahnya tersebut tidak akan mensucikan hartanya." (Durrul-Mantsur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

What Does This Blog Talk? Blog ini Bicara Tentang...

This blog wanna share to all of you about greatness and amazing benefit of sedekah or giving. You wanna find that if we make sedekah, it will not decrease your wealth.

Let's read and get yourself enlightened !!

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP