Rabu, 16 Desember 2009

Bab III Silaturahmi - Ayat ke-3

Ayat Ke-3

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa, 'Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama-sama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka." (Q.s. Al-Ahqaf: 15-16).
Keterangan




Allah swt. berkali-kali menekankan masalah yang berhubungan dengan hak kaum kerabat dan kedua orangtua sebagamana telah disebutkan dalam penjelasan ayat terdahulu. Dalam ayat ini, Allah swt. menekankan secara khusus agar berbuat baik, khususnya kepada kedua orangtua, yaitu, Kami (Allah) telah memerintahkan berbuat baik kepada kedua orangtua." Perintah untuk berbuat baik kepada orangtua telah disebutkan di tiga tempat dalam Al-Qur'an. Yang pertama dalam surat Al-'Ankabut ayat 8, kemudian dalam surat Luqman ayat 1, dan yang ketiga dalam ayat di atas. Dari sini dapat diketahui betapa masalah ini sangat ditekankan.
Dalam Tafsir Khazin disebutkan bahwa ayat ini turun mengenai Abu Bakar Shiddiq r.a. Persahabatannya yang pertama kali dengan Rasulullah saw. terjalin ketika mereka sedang dalam perjalanan ke Syam, pada saat itu ia berusia 18 tahun, dan Rasulullah saw. berusia 20 tahun. Dalam perjalanan itu, keduanya berhenti di bawah sebuah pohon bidara. Pada saat itu, Abu Bakar r.a. menemui seorang pendeta di sana, sedangkan Rasulullah saw. duduk di bawah sebatang pohon. Pendeta itu bertanya kepada Abu Bakar r.a., "Siapakah orang yang berada di bawah pohon itu?" Ia menjawab, "Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib." Pendeta itu berkata, "Demi Tuhan, dia adalah seorang Nabi. Setelah Nabi Isa a.s., tidak ada seorang pun yang duduk di bawah pohon itu. Inilah Nabi akhir zaman. Ketika Rasulullah saw. berusia 40 tahun dan beliau diangkat menjadi Nabi, Abu Bakar r.a. masuk Islam. Dua tahun setelah peristiwa itu, yakni ketika Abu Bakar r.a. berusia 40 tahun, ia membaca doa ini:



'Berikanlah kepadaku taufik untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku."
Ali Karramallahu Wajhah berkata bahwa di kalangan kaum Muhajirin tidak ada seorang pun yang berbahagia seperti Abu Bakar r.a., karena kedua orangtuanya telah memeluk Islam. Doa yang kedua adalah mengenai anak-anak agar mereka menjadi anak shalih. Hasilnya, anak-anak Abu Bakar r.a. telah memeluk Islam. (Tafsir Khazin)
Ayat pertama yang disebutkan dalam surat Al-'Ankabut lebih luas lagi penekanannya, karena di dalamnya terdapat perintah agar berbuat baik kepada kedua orangtua yang kafir. Jika Allah swt. memerintahkan agar berbuat baik dan bergaul dengan baik kepada orangtua yang kafir, maka terhadap orangtua yang Islam tentu ditekankan untuk berbuat baik kepada mereka.
Sa'ad bin Abi Waqqash r.a., berkata, "Ketika saya memeluk Islam, ibu saya bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan tidak akan minum selama saya tidak berpaling dari agama Muhamad saw.. Ia telah meninggalkan makan dan minum sehingga harus dipaksa untuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Karena peristiwa inilah maka ayat suci ini diturunkan." (Durrul-Mantsur).
Pelajaran yang dapat dipetik dari kejadian ini adalah, bahwa dalam keadaan yang sulit seperti itu, Allah swt. tetap berfirman, "Kami memerintahkan kamu agar berbuat baik kepada kedua orangtua." Tetapi jika mereka mengajak kepada kemusyrikan, maka tidak wajib mentaati mereka.
Seseorang bertanya kepada Hasan r.a., "Apa yang menjadi ukuran berbuat baik kepada kedua orangtua itu?" Ia berkata, "Apa saja yang menjadi milikmu belanjakanlah untuknya, dan apa saja yang diperintahkannya taatilah. Tetapi jika mereka menyuruh berbuat suatu dosa, maka jangan mentaati mereka." Inilah ajaran Islam, walaupun kedua orangtua yang musyrik berusaha menjadikan anak-anaknya musyrik, tetap saja diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka. Akan tetapi tidak boleh mentaati mereka dalam hal kemusyrikan. Bagaimanapun, hak kedua orangtua tidak dapat menyamai hak Khaliq.



"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq."
Sekalipun orangtua berusaha dan memerintahkan anak mereka menjadi musyrik, Allah swt. tetap memerintahkan anak untuk berbuat baik kepada mereka. Dalam hadits yang lain disebutkan agar kita berbuat baik kepada orangtua. Sebab turunnya surat Luqman adalah karena peristiwa yang terjadi pada sahabat Sa'ad r.a.. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Sa'ad berkata, "Saya selalu berbuat baik kepada ibu saya. Ketika saya masuk Islam, ibu saya berkata, 'Sa'ad, apa yang telah kamu lakukan? Tinggalkanlah agama itu. Jika tidak, saya akan berhenti makan dan minum selamanya sehingga saya mati, dan orang-orang akan menyebutmu sebagai pembunuh ibumu sendiri.' Saya berkata kepada ibu saya, 'Jangan begitu, saya tidak bisa meninggalkan agama saya." Ia pun tidak makan dan minum satu hari. Pada hari kedua, ia juga tidak makan dan minum. Maka saya berkata kepadanya, "Seandainya engkau punya 100 nyawa, dan semuanya engkau korbankan, maka saya tidak akan meninggalkan agama saya. Ketika itu, ibu saya melihat keteguhan hati saya sehingga mau makan dan minum." (Durrul-Mantsur.) 
Ayat di atas memerintahkan kita agar berbuat baik kepada kedua orangtua. Faqih Abul-Laits Samarqandi rah.a. berkata, seandainya Allah swt. tidak memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, dengan menggunakan hati dan akalnya, manusia tentu sangat perlu untuk menunaikan hak-hak orangtua, apalagi Allah swt. di dalam semua kitab-Nya, yakni Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an memerintahkan kepada kita untuk menunaikan hak-hak mereka. Allah swt. menurunkan wahyu kepada semua nabi agar manusia menunaikan hak-hak orangtua. Allah swt. juga menegaskan bahwa keridhaan-Nya bergantung pada keridhaan kedua orangtua dan kemurkaan-Nya bergantung pada kemurkaan orangtua. (Tanbihul-Ghafilin).
Jika tiga ayat di atas membicarakan tentang berbuat baik kepada orangtua, di bawah ini tiga ayat mengenai ancaman bagi yang berbuat buruk kepada mereka.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab II Celaan Terhadap Kebakhilan/ Kekikiran - Ayat ke-2

Ayat ke-2

"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (jika kamu bersedekah atau berderma), dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Qs. Al- Baqarah: 268)
Keterangan


Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Dalam diri manusia ada satu syaitan yang bekerja dan ada satu malaikat yang bekerja. Pekerjaan syaitan adalah menakut-nakuti keburukan (misalnya, jika bersedekah kamu akan jatuh miskin dan sebagainya), dan mendustakan yang benar. Dan pekerjaan malaikat adalah menjanjikan kebaikan dan membenarkan yang haq. Barangsiapa mendapatkannya (yakni pikiran tentang perkara yang baik masuk ke dalam hati) maka anggaplah itu dari Allah swt. dan bersyukurlah. Dan barangsiapa mendapatkan sesuatu yang lain (pikiran kotor masuk ke dalam hati) maka mintalah perlindungan dari godaan syaitan. Setelah itu Rasulullah saw. membaca ayat suci ini." (Misykat). Maksudnya, Rasulullah saw. membaca ayat ini untuk menguatkan sabdanya tersebut. Di dalamnya, Allah swt. berfirman bahwa syaitan menakut-nakuti dengan kefakiran, mendorong berbuat keji, dan berkata yang kotor. Inilah yang dimaksud mendustakan yang haq.
Abdullah bin Abbas r.huma. berkata bahwa di dalam ayat suci ini ada dua perkara dari Allah swt., dan dua perkara dari syaitan. Syaitan menjanjikan kefakiran dan memerintahkan kemungkaran. Ia berkata, "Jangan membelanjakan harta, simpanlah dengan hati-hati karena kamu pasti memerlukannya." Sedangkan Allah swt. menjanjikan ampunan atas dosa-dosa, dan menjanjikan bertambahnya rezeki bagi orang yang membelanjakan hartanya. (Durrul-Mantsur).
Imam Ghazali rah.a. berkata, "Orang hendaknya jangan terlalu sibuk memikirkan yang akan datang dan apa yang akan terjadi. Jika Allah swt. sendiri telah menjanjikan rezeki, hendaknya ia meyakini dan memahami bahwa mengkhawatirkan keperluan pada masa yang akan datang itu adalah bisikan syaitan. Sebagaimana telah disebutkan di dalam ayat ini, syaitan selalu membisikkan ke dalam hati manusia berupa kekhawatiran: Jika kita tidak mengumpulkan harta, maka pada waktu kita sakit atau sudah lemah dan tidak mampu bekerja, atau datang keperluan yang mendadak, kita akan berada dalam kesulitan, sehingga kita akan repot dan menderita. Dengan pikiran-pikiran seperti itu, syaitan telah memerangkap orang ke dalam kesusahan, penderitaan, dart ketakutan pada saat itu, dan ia akan terus-menerus berada dalam penderitaan tersebut. Kemudian syaitan akan menertawakannya, "Orang bodoh ini sedang terperangkap dalam penderitaan yang sebenarnya, yakni takut akan penderitaan yang semu." (Ihya' Ulumiddin). Demikianlah, setiap waktu ia resah memikirkan bagaimana mengumpulkan harta, dan kekhawatiran tentang masa depan selalu menghantuinya.

Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab I Keutamaan Menginfakkan Harta, - Hadits ke-2

Hadits ke-2

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Ketika seorang hamba berada pada waktu pagi, dua malaikat akan turun kepadanya, lalu salah satu berkata, 'Ya Allah, berilah pahala kepada orang yang menginfakkan hartanya.' Kemudian malaikat yang satu berkata, 'Ya Allah, binasakanlah orang-orang yang bakhil." (Muttafaq 'Alaih- Misykdt).

Keterangan



Dalam Ayat ke-20 yang lalu terdapat penegasan terhadap hadits ini yang maksudnya adalah, apa saja yang kita infakkan, maka Allah swt. akan menggantinya. Berkenaan dengan hal tersebut banyak dikutip riwayat-riwayat lain yang mendukung penegasan maksud tersebut. Abu Darda' r.a. meriwayatkan sabda Nabi saw. bahwa ketika matahari terbit, muncullah malaikat yang menyeru dari dua arah. Semua makhluk mendengar seruannya, kecuali jin dan manusia. Diserukan, "Wahai manusia, berjalanlah ke arah Rabbmu. Sesuatu yang sedikit tetapi mencukupi keperluan, itu lebih baik daripada sesuatu yang banyak tetapi menyebabkan lalai kepada Allah swt.." Dan ketika matahari terbenam, dua malaikat muncul dari dua arah lalu berdoa dengan suara keras, "Ya Allah, berilah balasan kepada orang-orang yang menafkahkan hartanya, dan binasakanlah orang-orang yang bakhil dalam menginfakkan hartanya." ('Allamah 'Aini dari Riwayat Ahmad).
Dalam sebuah hadits yang lain diterangkan bahwa apabila matahari terbit, maka dua malaikat muncul dari dua sisinya seraya berseru, "Wahai Allah, berilah balasan segera kepada orang yang menafkahkan hartanya. Wahai Allah, binasakanlah segera harta orang yang bakhil dalam menginfakkannya." Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa di atas langit ada dua malaikat yang ditugaskan untuk mengurusi hal ini tanpa diserahi tugas yang lain. Mereka berkata, "Wahai Allah, berilah balasan kepada orang-orang yang berinfak." Malaikat yang lain berkata, "Wahai Allah, berilah kebinasaan kepada orang-orang yang menahan hartanya." (Kanzul-'Ummal)
Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa seruan malaikat tersebut tidak hanya dikhususkan pada waktu pagi dan sore. Sepanjang waktu, mereka berdoa seperti itu. Tetapi dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa para malaikat berdoa khusus seperti itu pada waktu matahari terbit dan terbenam. Kenyataan dan pengalaman yang dapat dilihat menunjukkan bahwa kebanyakan orang yang mengumpulkan dan menyimpan harta telah disulitkan oleh hartanya sendiri, sehingga menyebabkan harta mereka binasa. Sebagian dari mereka ada yang menghadapi kasus sehingga harus berurusan dengan pengadilan, sebagian lagi menghabiskan harta mereka dalam permainan, ada pula yang menjadi sasaran para pencuri, dan sebagainya. Ibnu Hajar rah. a. menulis bahwa terkadang suatu kehancuran terjadi pada hartanya, terkadang juga menimpa pemiliknya, dan terkadang pemiliknya dijauhkan dari amal shalih. Sebaliknya, barangsiapa menafkahkan hartanya, maka hartanya akan diberkahi. Bahkan dalam sebuah hadits dikatakan bahwa barangsiapa menyedekahkan hartanya dengan baik, maka Allah swt. Akan menjaga harta yang ditinggalkannya. (Ihya'). Yakni, bahkan setelah kematiannya, ahli warisnya tidak merusak hartanya dan tidak membelanjakan hartanya untuk hal yang sia-sia. Apabila harta tidak disedekahkan, pada umumnya harta tersebut mendatangkan akibat buruk kepada anak-anaknya setelah ia meninggal dunia. Imam Nawawi rah.a. menulis bahwa pengeluaran harta yang disukai adalah pengeluaran untuk amal-amal yang baik, menafkahi keluarga, menjamu tamu, dan sebagainya. Qurthubi rah.a. berkata bahwa membelanjakan harta seperti ini termasuk ibadah fardhu dan sunnah. Akan tetapi, jika seseorang tidak membelanjakan hartanya untuk ibadah sunnah, maka ia tidak termasuk yang didoakan dalam keburukan tersebut. Akan tetapi dengan tidak menggunakannya untuk ibadah sunnah, berarti ia telah berbuat kikir, sehingga membelanjakan hartanya untuk ibadah yang fardhu dengan hati yang ikhlas tentu akan terasa sulit.



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab I Keutamaan Menginfakkan Harta, - Ayat ke-4

Ayat ke-4


"Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka infakkan. Katakanlah: Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219).

Keterangan
Harta adalah untuk diinfakkan. Jika memerlukan harta, ambillah menurut keperluan, dan sisanya hendaknya diinfakkan. Ibnu Abbas r.hum. berkata, "Harta yang berlebih setelah dinafkahkan kepada keluarga adalah 'afw. Abu Umamah r.a. meriwayatkan sabda Nabi saw., "Wahai manusia, harta yang berlebih yang ada pada dirimu (keperluanmu) sedekahkanlah, yang demikian itu lebih baik bagimu. Jika kamu menyimpannya, yang demikian itu buruk bagimu. Jika kamu menggunakannya sesuai keperluanmu, yang demikian itu tidak tercela. Dalam membelanjakan harta, mulailah dari orang-orang yang berada dalam tanggunganmu, dan tangan di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (yang diberi). 'Atha' rah.a. juga meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan 'afw adalah harta yang melebihi keperluan. (Durrul-Mantsur).
Abu Sa'id Al-Khudri r.a. berkata bahwa suatu ketika Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa memiliki kelebihan kendaraan hendaknya memberikan kendaraan tersebut kepada orang yang tidak memiliki kendaraan. Dan barangsiapa memiliki kelebihan bekal, hendaklah memberi bekal kepada orang yang tidak memiliki bekal." (Rasulullah saw. mengatakan hal tersebut dengan sungguh-sungguh) sehingga kami menyangka bahwa siapa pun tidak memiliki hak atas hartanya yang melebihi keperluan. (Abu Dawud). Sesungguhnya yang demikian ini adalah derajat kesempurnaan, yakni harta yang melebihi keperluan adalah untuk diinfakkan, bukan untuk dikumpulkan lalu disimpan.
Sebagian ulama mengartikan bahwa yang dimaksud 'afw adalah mudah, yakni menginfakkan hartanya dengan mudah sehingga setelah menginfakkan harta tidak menjadi susah, yakni menyulitkan kehidupan dunianya, dan karena mengabaikan hak orang lain (yang menjadi tanggung jawabnya) ia akan mengalami penderitaan di akhirat. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.hum. bahwa ada orang-orang yang selalu bersedekah dengan berlebihan sampai-sampai tidak ada sisa untuk makan bagi dirinya sendiri, sehingga orang lain harus memberikan sedekah kepadanya. Ayat tersebut turun sehubungan dengan adanya peristiwa ini. Abu Sa'id Al-Khudri r.a. berkata, "Seseorang telah datang ke masjid. Nabi saw. melihat bahwa orang tersebut dalam keadaan sangat susah. Maka beliau menyuruh orang-orang agar menyedekahkan pakaian kepadanya. Kemudian terkumpullah pakaian yang banyak sebagai sumbangan. Nabi saw. mengambil dua helai kain yang terkumpul tersebut kemudian beliau memberikannya kepada orang tersebut. Lalu Nabi saw. menganjurkan kepada orang-orang untuk bersedekah sekali lagi, sehingga orang-orang pun menyedekahkan harta mereka. Maka orang tersebut ikut menyedekahkan salah satu pakaian yang telah diberikan oleh Nabi saw. tersebut. Terhadap perbuatannya itu, Nabi saw. menampakkan kemarahannya dan segera mengembalikan pakaian tersebut kepadanya." (Durrul-Mantsur). Di dalam Al-Qur'an terdapat dorongan untuk menginfakkan harta sekalipun ia sendiri memerlukannya. Tetapi dorongan ini adalah untuk orang-orang yang sanggup melakukannya dengan senang hati, yakni bagi orang-orang yang lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Masalah ini akan dibicarakan secara terperinci dalam Ayat ke-38 nanti.







Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab I Keutamaan Menginfakkan Harta, - Ayat ke-3

Ayat ke-3




"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah swt., dan janganlah menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Q.s. Al-Baqarah: 19)

Keterangan
Hudzaifah r.a. berkata bahwa yang dimaksud dengan janganlah menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan adalah tidak mau menginfakkan harta di jalan Allah karena takut miskin. Ibnu Abbas r.hum. berkata bahwa maksud menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan bukan terbunuhnya seseorang di jalan Allah swt., tetapi tidak mau membelanjakan harta di jalan Allah swt.. Dhahhak bin Jubair r.a. berkata bahwa orang-orang Anshar selalu membelanjakan harta di jalan Allah swt. dan selalu bersedekah. Pernah suatu ketika, pada saat terjadi kelaparan selama setahun, pikiran mereka menjadi kalut sehingga mereka tidak mau menginfakkan harta mereka di jalan Allah swt.. Terhadap peristiwa inilah ayat tersebut diturunkan. Aslam r.a. berkata, "Ketika kami ikut serta dalam peperangan Konstantinopel, tiba-tiba sepasukan orang kafir yang besar jumlahnya datang untuk menyerang kami. Pada waktu itu, seseorang dari kaum muslimin masuk ke dalam barisan orang-orang kafir seorang diri sambil membawa pedang. Orang-orang Islam lainnya berteriak bahwa orang tersebut telah menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan. Abu Ayyub Anshari r.a. yang juga ikut serta dalam pertempuran tersebut berkata bahwa yang demikian itu bukan menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan. Ia berkata, "Mengapa kalian mengartikan ayat tersebut seperti itu, ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang kami alami. Ketika Islam mulai berkembang dan telah bermunculan para pembela agama, diam-diam kami, orang-orang Anshar, berpikir bahwa sekarang Allah swt. telah memberikan kemenangan kepada Islam dengan lahirnya para pembela agama, sedangkan harta benda kami seperti sawah, ladang, dan sebagainya, karena lama tidak terurus mulai rusak. Untuk itu, kami bermaksud untuk mengurusi dan memperbaiki sawah ladang. Terhadap peristiwa itulah ayat tersebut diturunkan. Dengan demikian, yang dimaksud menjerumuskan diri dalam kebinasaan adalah sibuk mengurusi harta kekayaan sendiri dan meninggalkan jihad." (Durrul-Mantsur).




Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Selasa, 15 Desember 2009

Bab I Keutamaan Menginfakkan Harta - Ayat ke-2

Ayat ke-2







"Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, para nabi, dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat." (Q.s. Al-Baqarah: 17)

Dalam ayat ini, setelah menerangkan sebagian dari sifat-sifat mereka, Allah swt. berfirman, "Mereka adalah orang-orang yang benar, dan merekalah orang-orang yang bertakwa."

Keterangan

Qatadah rah.a. berkata bahwa orang-orang Yahudi selalu sembahyang ke arah barat, sedangkan orang-orang Nasrani ke arah timur. Berkenaan dengan hal inilah ayat di atas diturunkan. Masalah ini juga telah dinukilkan oleh beberapa ulama. (Durrul-Mantsur). Imam Jashshash rah.a. menulis bahwa ayat suci ini berisi bantahan terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani, yaitu ketika mereka menyangkal perpindahan kiblat (dari Baitul-Maqdis ke Ka'bah), maka Allah swt. menurunkan ayat ini yang menjelaskan bahwa kebajikan itu adalah mentaati Allah swt.. Tanpa mentaati-Nya, menghadapkan wajah ke timur atau ke barat tidaklah mempunyai arti apa pun. (Ahkdmul-Qur'an).
Memberikan harta karena cinta kepada Allah swt., maksudnya adalah, hendaknya memberikan harta kepada mereka (yang disebutkan dalam ayat tersebut) karena ingin memperoleh keridhaan Allah swt.. Janganlah membelanjakan harta untuk mencari kemasyhuran dan kehormatan, karena dengan niat semacam itu adalah sebagaimana dikatakan dalam pepatah:"Jika kebaikan rusak, dosa pasti diperoleh."
Yakni, sudah membelanjakan harta, di sisi Allah swt. bukan pahala yang diperoleh, tetapi justru dosa. Rasulullah saw. bersabda, "Allah swt. tidak melihat rupa dan hartamu (yang dilihat bukan berapa banyak harta yang diinfakkan, tetapi amal dan had, yaitu apakah niat dan tujuan dalam menginfakkan harta). (Misykat). Dalam hadits lain, Rasulullah saw. bersabda, "Yang paling aku takuti atas diri kalian adalah syirik kecil. Para sahabat r.hum. bertanya, 'Apakah syirik kecil itu ya Rasulullah?' Rasulullah saw. menjawab, 'Beramal untuk diperlihatkan'." Dalam berbagai hadits banyak sekali diperingatkan agar tidak membelanjakan harta karena riya.' Hadits yang membicarakan tentang masalah ini akan dijelaskan kemudian. Terjemahan di atas benar bila yang dimaksud adalah memberinya karena Allah swt., dan sebagian ulama menerjemahkannya dengan senang menyedekahkan harta'. Yakni hatinya merasa senang menyedekahkan hartanya dan samasekali tidak mengeluh, "Mengapa saya harus bersedekah, betapa bodohnya saya, dengan bersedekah harta saya jadi berkurang," dan sebagainya. (Ahkamul-Qur'an). Dan kebanyakan ulama menerjemahkannya dengan "mencintai harta", yakni walaupun ia mencintai harta, ia tetap membelanjakannya di tempat-tempat tersebut.
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa seseorang bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang dimaksud mencintai harta, karena setiap orang mencintai harta?" Rasulullah saw. menjawab, "Ketika engkau membelanjakan harta, pada waktu itu hatimu teringat akan keperluan-keperluanmu, kemudian muncul dalam hati kekhawatiran-kekhawatiran akan keperluan-keperluanmu tersebut, dan hatimu mengatakan, 'Umurku masih panjang, jangan-jangan aku memerlukannya.'" Dalam hadits lainnya, Rasulullah saw. bersabda, "Sedekah yang baik adalah membelanjaKan hartamu ketika sehat dan kamu memiliki harapan untuk hidup di dunia lebih lama. Jangan sampai kamu menunda-nunda sedekah sehingga ketika ruh hendak keluar dan maut sudah menjelang kamu baru berkata, 'Sekian untuk Fulan.' Karena pada waktu itu, harta telah menjadi milik Fulan (ahli waris)." (Durrul-Mantsur) . Maksudnya, ketika sudah tidak ada harapan untuk hidup dan sudah tidak mengkhawatirkan keperluan-keperluannya, seseorang baru berkata, "Sekian untuk masjid itu, dan sekian untuk madrasah itu." Padahal, pada saat seperti itu, harta tersebut seakan-akan telah menjadi milik ahli waris.
Ketika harta benda masih diperlukan, pada waktu itu orang belum mendapat taufik untuk menginfakkannya. Barulah ketika harta itu hendak pindah kepada orang lain (ahli waris), orang baru bersemangat membelanjakannya karena Allah swt..
Oleh sebab itu, syariat suci menetapkan bahwa sedekah pada waktu hampir meninggal dunia dapat diambil dari sepertiga kekayaan. Jika seseorang pada waktu seperti itu menginfakkan semua hartanya tanpa seizin ahli waris kemudian ia meninggal dunia, maka wasiat si mayat yang lebih dari sepertiga tidak sah. Dalam ayat ini disebutkan secara terpisah tentang membelanjakan harta untuk anak-anak yatim dan orang miskin, dan yang terakhir disebutkan tentang masalah zakat. Berdasarkan ayat ini dapat diketahui bahwa menginfakkan harta kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin adalah dari sisa harta setelah ditunaikan zakatnya. Keterangan tentang masalah ini akan dibicarakan dalam Hadits ke-1.



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Selasa, 13 Oktober 2009

Bab IV Pentingnya Zakat dan Keutamaannya - Hadits ke-1

Hadits-hadits Mengenai Membayar Zakat

Hadits ke-1


“ Dari Ibnu Abbas r.huma., ia berkata,” Ketika ayat:


Turun, kaum muslimin merasa sangat berat. Maka Umar r.a. berkata,” Saya akan menyelesaikan kesulitan kalian.” Setelah berkata demikian, ia menjumpai Rasulullah kemudian berkata,” Wahai Rasulullah saw., sesungguhnya ayat ini terasa berat bagi shahaba-shahabatmu.” Maka Rasulullah saw bersabda,” Allah swt tidak mewajibkan zakat, kecuali untuk membersihkan harta kalian yang tersisa, dan mewajibkan warisan, supaya harta tetap tersisa untuk orang-orang setelah kalian.” Karena gembiranya, Umar r.a. bertakbir, kemudian Rasulullah saw. bersabda,” Maukah aku beritahukan kepadamu sesuatu yang baik untuk disimpan?” Yaitu wanita shalihah yang jika suaminya memandangnya, maka ia merasa senang, jika suaminya memerintahnya, maka ia mentaatinya, dan jika suaminya pergi, maka ia menjaganya.” ( HR Abu Daud- Misykat )

Keterangan


Ayat yang disebutkan dalam hadits ini telah dikutip dalam Bab II ayat ke-5. Dari ayat ini dapat diketahui dengan jelas bahwa menimbun harta dengan segala bentuknya, betapapun harta itu sangat diperlukan, dapat menyebabkan azab yang keras di akhirat. Karena mengamalkan perintah Allah swt dan Rasul-Nya merupakan ruh para shahabat r.hum., dan menyimpan uang untuk berbagai keperluan terkadang memaksanya untuk menyimpan uang, maka hal ini sangatlah mengejutkan para shahabat r.hum. Karena itulah hal ini dirasakan sangat berat. Untuk menghilangkan kegelisahan mereka, maka Umar r.a. segera menjumpai Rasulullah saw untuk meminta penjelasan mengenai ayat tersebut. Rasulullah saw menghiburnya dengan bersabda,” Zakat telah diwajibkan karena setelah menunaikannya, sisa hartanya akan menjadi bersih.” Dan ini menjadi dalil dibolehkannya mengumpulkan harta karena menunaikan zakat diwajibkan jika harta itu terus ada ( outstanding ) selama satu tahun. Mengapa menyimpan harta tidak boleh, dan mengapa zakat diwajibkan? Dari keterangan ini dapat diketahui betapa besar keutamaan membayar zakat karena bagi orang yang membayar zakat akan mendapatkan pahala tersendiri, dan sisa hartanya menjadi bersih dan baik. Di dalam Al Qur’an terdapat suatu keterangan yang menjelaskan tentang pengaruh penyucian harta melalui zakat, yaitu:




“ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan harta itu, kamu membersihkan dan menyucikan mereka ( dari pengaruh dosa-dosa ). Dan bershalawatlah kepada mereka. Sesungguhnya shalawatmu itu ketenangan bagi mereka.” ( QS At Taubah: 103 )

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda,” Tunaikanlah zakat dari harta kalian, karena zakat akan menyucikan kalian. ( Kanzul Ummal ). Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda,” Bayarlah zakat, karena ia merupakan sesuatu yang mensucikan. Allah swt ( dengan perantaraan zakat ) akan mensucikan kalian.” Dalam sebuah hadits lainnya disebutkan,” Jagalah harta kalian dari kotoran dosa-dosa atau kesia-siaan. Obatilah orang sakit dengan sedekah, dan siapkanlah doa untuk menjaga dirimu dari bencana.” ( Kanzul Ummal ). Dalam hadits lain juga disebutkan,” Jagalah harta kalian dengan perantaraan zakat. Obatilah orang-orang sakit dengan sedekah, dan mohonlah perlindungan kepada-Nya dengan kerendahan hati, dan mohonlah perlindungan dari bencana melalui doa.” ( Kanzul Ummal ).

Kemudian dalam hadits di atas, Rasulullah saw menerangkan dalil dibolehkannya mengumpulkan harta dengan bersabda,” Adanya perintah tentang warisan itu menunjukkan bolehnya seseorang mengumpulkan harta. Lalu apa yang akan dibagi-bagikan sebagai warisan jika seseorang tidak memiliki harta?” Setelah itu Rasulullah memperingatkan dengan bersabda,” Walaupun hal ini dibenarkan, harta bukanlah sesuatu yang baik untuk disimpan, tetapi hendaknya dibelanjakan.”

Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab IV Pentingnya Zakat dan Keutamaannya - Ayat ke-1

Ayat-ayat Mengenai Membayar Zakat

Ayat ke-1
 




“ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” ( QS Al Baqarah 43 )

Keterangan

Maulana Thanwi rah.a menjelaskan bahwa amal ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua bagian, yakni amalan yang bersifat lahiriah dan amalan batiniyah. Amalan lahiriah terbagi menjadi dua bagian, yakni ibadah Badani ( yang dilakukan dengan tubuh ), dan ibadah Maalii ( yang dilakukan dengan harta ). Ayat di atas telah menyebutkan masing-masing dari ketiga jenis amal tersebut. Shalat merupakan ibadah badaniah, dan zakat merupakan ibadah Maaliyah. Sedangkan khusyu dan khudhu’ merupakan ibadah batiniah. Berkenaan dengan masalah tawadhu’ secara batiniah, maka bergaul dengan para ahli tawadhu’ sangat mempengaruhi dan memberikan kesan yang dalam. Oleh karena itu sangatlah tepat ketika ditambah dengan firman,” ..Ruku’lah bersama dengan orang-orang yang ruku’.” ( Bayaanul Qur’an ). Menurut keterangan di atas, dalam perkataan bahasa Arab, yang dimaksud dengan ruku’ adalah khusyu’ dan khudhu’, yang berarti kebaktian dan kerendahan hati.

Banyak pelajaran yang didapat dalam ayat ini, di antaranya adalah:
1. Shalat merupakan ibadah yang terpenting. Itulah sebabnya shalat disebut sebagai amalan yang utama.
2. Pada tingkatan yang kedua adalah zakat. Oleh karena itu zakat disebutkan pada nomer dua.
3. Zakat adalah tanda bersyukur atas pemberian Allah swt.
4. Dalam masalah ibadah, ibadah badani mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan ibadah dengan harta. Oleh karena itu, ibadah badani disebutkan pada urutan pertama, sedangkan ibadah maliah di urutan kedua.
5. Amal ibadah jasmaniah secara lahiriah mempunyai nilai lebih tinggi daripada amal ibadah batiniah. Oleh karena itu, “ kerendahan hati” disebutkan pada urutan ketiga.
6. Untuk mewujudkan sifat khusyu’ dan khudhu’ di dalam hati, bergabung dengan jamaah orang-orang yang khusyu’ sangatlah penting. Oleh sebab itu, sebagian ulama menekankan pentingnya tinggal di tempat suluk. Dengan cara tinggal bersama mereka, maka sifat-sifat tersebut akan cepat terwujud.
7. Secara umum, kaum muslimin telah cukup memperhatikan ketiga hal tersebut. Maka dari itu, di semua tempat difirmankan dengan bentuk jamak. Jika direnungkan lebih dalam lagi, masih banyak kemurahan Allah berkenaan dengan hal ini.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa perintah ruku’ adalah ruku’ dalam sholat. Syaikh Abdul ‘Azis rah.a., dalam Tafsir ‘Azizi menerangkan agar kita menegakkan shalat bersama orang-orang yang shalat, yaitu menunaikan shalat dengan cara berjamaah. Shalat berjamaah merupakan suatu keistimewaan tersendiri dalam Islam, sementara agama lain tidak memilikinya. Ayat tersebut menggunakan kata ‘ruku’, karena sebelumnya diterangkan tentang kaum Yahudi. Sedangkan ‘ruku’ tidak ada dalam cara ibadah mereka. Ayat ini secara tidak langsung menyatakan agar mendirikan sholat seperti orang-orang Islam. ( Tafsir ‘Azizi ). Shalat berjamaah sangatlah penting agar shalat kita diterima, sebagaimana telah dijelaskan dalam Kitab Fadhilah Shalat. Sebagian ulama mengatakan bahwa tanpa berjamaah, sholat menjadi tidaklah sempurna.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab IV Pentingnya Zakat dan Keutamaannya - Pendahuluan

Menunaikan zakat merupakan salah satu rukun Islam yang sangat penting. Menurut pendapat yang masyhur, Allah swt di dalam Kalam suci-Nya telah berfirman di 82 ayat yang menyebutkan perintah untuk membayar zakat bersamaan dengan perintah mengerjakan shalat. Ini tidak termasuk ayat yang menyebutkan tentang zakat saja. Salah satu hadits Nabi saw yang sangat terkenal menyebutkan bahwa Islam didirikan di atas lima perkara, yakni mengikrarkan kalimat Thayyibah ( Syahadatin ), shalat, zakat, puasa dan haji. Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Allah swt tidak akan menerima sholatnya orang yang tidak menunaikan zakat. Maka dari itu, Allah swt telah menyatukan ( di dalam Al Qur’an ) perintah sholat dengan zakat. Dengan demikian, hendaknya janganlah berusaha untuk membedakan dan atau memisahkan di antara keduanya. ( Kanzul Ummaal ).


Para ulama telah bersepakat bahwa barangsiapa yang mengingkari salah satu di antara keduanya berarti telah kufur. Karena hal ini merupakan lima rukun agama Islam dan merupakan ibadah-ibadah terpenting. Akan tetapi jika diperhatikan dengan seksama, apakah sebenarnya kesimpulan dari hal tersebut? Setelah ikrar atas kehambaan diri kita ( syahadat ), maka hanya ada dua bentuk kehadiran di hadapan Allah swt. Kehadiran pertama adalah kehadiran ruhani melalui shalat. Mengenai hal ini, Rasulullah saw bersabda,” Orang yang shalat, sedang berbincang-bincang dengan Allah swt.” Maka dari itu, shalat dikatakan sebagai Mi’rajul Mu’minin ( Mikrajnya orang beriman ). Kehadiran ini merupakan kesempatan bagi kita untuk menyampaikan dan mengeluhkan segala keperluan dan permasalahan kita kepada Sang Khalik. Oleh karena itu sangatlah penting untuk senantiasa menghadirkan diri kita di hadapan-Nya, karena manusia selalu dipenuhi oleh berbagai masalah. Banyak hadits yang menerangkan tentang masalah ini, yaitu apabila Rasulullah saw dan para Nabi a.s. mempunyai suatu masalah ataupun keperluan dunia, mereka akan mengadu melalui shalat. Dalam kehadiran ini, setelah seorang hamba memanjatkan puja dan puji, lalu ia memohon pertolongan-Nya, Allah pun menunaikan janji-janji-Nya, melalui jawaban-Nya, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits mengenai surat Al Fatihah. Hal tersebut diterangkan dengan jelas. Oleh karena itu, jika diseru dengan ajakan untuk mengerjakan shalat, maka bersegeralah menyambutnya. Kita diseru dengan,” Marilah menuju kemenangan.” Yaitu marilah kita menuju kebahagiaan di dua alam, dunia dan akhirat. Banyak hadits yang menerangkan masalah ini. Dengan menegakkan shalat, kita akan memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat, dan yang paling penting, dapat berjumpa dengan Allah swt. Dengan kata lain, kita akan dikaruniai kejayaan agama dan sekaligus dunia. Sedangkan zakat merupakan penyempurna dan pelengkapnya. “ Sedekahkanlah apa yang telah Aku berikan kepadamu dari khazanah-Ku sebanyak dua setengah persen, untuk diberikan kepada fakir miskin yang senantiasa menyebut nama-Ku.” Ini adalah rasa syukur atas pemberian Allah swt dari khazanah-Nya. Hal ini sangat masuk akal, alami dan sesuai dengan adat istiadat. Sebagaimana halnya, para pelayan di istana kerajaan akan mendapatkan pemberian dari kerajaan. Begitu pula, para ‘pelayan’ Sang Maha Raja yakni Allah SWT, yang senantiasa menyebut-nyebut nama-Nya, tentu mereka akan mendapatkan pemberian dari Allah swt.


Oleh karena itu, ditegaskan sekali lagi bahwa banyak ayat di dalam Al Qur’an yang menyebutkan perintah shalat yang diiringi dengan perintah membayar zakat.” Mintalah dan ambillah sesuatu melalui shalat. Dan apa yang telah didapatkan, maka sedekahkanlah sebagian kecil kepada orang yang sering menyebut nama-Ku.” Betapa Allah itu amat lembut serta pengasih dan penyayang, sehingga terhadap pemberian yang sedikitpun tetap diberikan pahala, ganjaran dan masih banyak lagi janji-janji terhadap hal itu.

Kehadiran yang kedua adalah kehadiran jasmani, yaitu hadir di hadapan Baitullah yang sering disebut dengan ibadah haji. Di dalam amalan ini terdapat banyak kesusahan fisik dan pengurbanan harta, sehingga bagi yang sudah mampu hanya diwajibkan menunaikannya sekali saja seumur hidup. Dalam kehadiran di sana, hendaklah seseorang mempersiapkan diri dengan membersihkan segala kotoran yang ada padanya selama beberapa hari. Itulah sebabnya sebelum melaksanakan ibadah haji, diwajibkan berpuasa sebagai pembersih atas segala kotoran kita yang berada di perut dan kemaluan. Selama beberapa hari, kita dianjurkan untuk memperhatikan hal tersebut, sehingga pada saat hadir di Baitullah, kita akan diterima oleh Allah swt. Itulah sebabnya, begitu selesai bulan Ramadhan, bulan haji segera dimulai. Demi kemaslahatan masalah ini, para ahli fikih secara umum telah menyusun rangkaian ibadah ini dalam kitab-kitab mereka.

Selain hal tersebut, masih banyak kemaslahatan yang terdapat dalam ibadah puasa yang tidak dapat kita abaikan. Ayat-ayat Al Qur’an yang berisi ancaman atas tidak ditunaikannya zakat telah diterangkan sebagian dalam Bab II. Sebagian besar ulama berpendapat, bahwa ayat-ayat tersebut memang diturunkan berkenaan dengan tidak dibayarnya zakat. Jika dikutip seluruh ayat-ayat tersebut, jelas tidak memungkinkan. Di sini, hanya akan dikutip sebagian ayat dan hadits yang berkenaan dengan masalah tersebut. Sebenarnya, bagi seorang muslim sejati, satu ayat atau satu hadits Rasulullah saw itu sudah mencukupi baginya. Sebaliknya bagi muslim yang hanya sekedar nama, seluruh Al Qur’an dan kitab-kitab hadits pun tidak bermanfaat apa-apa baginya. Bagi seorang muslim yang taat, cukup dengan mengetahui sekali saja, ia akan memahami bahwa hal ini merupakan perintah Allah swt. Sebaliknya bagi yang tidak taat, beribu-ribu peringatan akan sia-sia belaka.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab III Silaturahmi - Hadits ke-1

 Hadits ke-1

Abu Hurairah r.a., berkata,” Seseorang telah bertanya kepada Rasulullah saw,’ Siapakah yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?’ Rasulullah saw bersabda,’ Ibumu.’ Ia bertanya,’ Kemudian siapa?’ Rasulullah saw bersabda,’ Ibumu.’ Ia bertanya lagi,’ Kemudian siapa?’ Rasulullah saw bersabda,’ Ibumu’. Ia bertanya lagi,’ Kemudian siapa?’ Rasulullah saw menjawab,’ Ayahmu’.” Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,’ Ibumu,’ kemudian,’ Ibu,’ kemudian,’ Ibumu,’ kemudian,’ayahmu, kemudian,’ yang terdekat denganmu.’ ( Siapa saja yang dekat dengan kita, hendaknya kita dahulukan ). ( Hadits muttafaq ‘alaih- Misykat )

Keterangan:

Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama menetapkan bahwa hak seorang ibu untuk diperlakukan dengan baik dan dalam menerima pemberian adalah tiga bagian, sedangkan ayah satu bagian, karena Rasulullah saw menyebutkan ibu sebanyak tiga kali, dan yang keempat kalinya baru ayah. Para ulama menjelaskan bahwa sebabnya adalah, karena para ibu telah mengalami tiga penderitaan untuk anak-anaknya, yakni ketika mengandungnya, ketika melahirkannya dan ketika menyusuinya. Karena itu para ulama fiqih menjelaskan bahwa hak ibu untuk diperlakukan dengan baik dan untuk menerima pemberian harus lebih didahulukan daripada ayah. Jika seseorang, karena ketidakmampuannya tidak bisa berbuat baik kepada orang tuanya, maka berbuat baik kepada ibu hendaknya lebih didahulukan. ( Mazhaahirul Hque ).

Tentunya telah jelas bahwa ibu lebih memerlukan kemurahan dan kedermawanan hati karena ia seorang wanita. Setelah kedua orang tua, keluarga-keluarga yang lain yang paling dekat hendaknya didahulukan. Dalam sebuah hadits disebutkan,” Mulailah berbuat baik kepada ibu, setelah itu kepada ayah, kemudian kepada saudara perempuan, kemudian kepada saudara lain yang terdekat, dan seterusnya. Janganlah melupakan tetangga dan orang-orang yang miskin.” ( Kanzul Ummal )

Bahz bin Hakim rah.a. meriwayatkan dari kakeknya, bahwa ia meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw.,” Wahai Rasulullah, kepada siapa saya harus berbuat baik dan bermurah hati?” Rasulullah saw. bersabda,” Kepada Ibumu.” Ketika kakeknya menanyakan lagi masalah ini, Rasulullah memberikan jawaban yang sama. Ketika kakeknya menanyakan untuk ketiga kalinya, beliau saw. menjawab,” Kepada ayahmu, setelah itu kepada keluargamu yang lain.” Yang paling dekat, hendaknya lebih didahulukan. Dalam sebuah hadits disebutkan,” Seseorang telah datang kepada Rasulullah saw. dan berkata,” Perintahkanlah sesuatu kepada saya untuk saya kerjakan.” Rasulullah saw bersabda,” Bermurah hatilah kepada ibumu.” Setelah bersabda dua atau tiga kali seperti ini, beliau baru bersabda,” Berbuat baiklah kepada ayahmu.” ( Durrul Mantsur ). Dalam sebuah hadits lainnya disebutkan,” Tiga perkara jika ditemukan pada diri seseorang, maka Allah swt akan memudahkan kematian baginya dan memasukkannya ke dalam surga, yakni menyayangi orang yang lemah, menyayangi kedua orang tua dan bermurah hati terhadap bawahan.” ( Misykat )

Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab III Silaturahmi - Ayat ke-2

Ayat ke-2





“ Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka ( tidak ) akan memberi ( bantuan ) kepada kaum kerabat ( nya ), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( QS An Nuur: 22 )

Keterangan:

Ayat suci ini beserta terjemahannya sudah diterangkan dalam Bab I ayat ke-18. Maksud diulang kembali di sini adalah untuk sekedar mengingatkan agar kita juga memikirkan dan merenungkan kebiasaan para pendahulu kita. Ini juga merupakan anjuran Allah swt sebagaimana disebutkan di atas. Betapa keras dan betapa penting peristiwa itu, di mana istri Rasulullah saw, yaitu ‘Aisyah r.a., Ibu orang-orang mukmin telah difitnah, sedangkan yang menyebarluaskan fitnah tersebut adalah keluarga dekatnya. Padahal semua biaya hidup dari si penyebar fitnah tersebut ditanggung oleh Abu Bakar, ayahanda dari Aisyah r.a. Menghadapi peristiwa tersebut, tentu saja Abu Bakar sangat bersedih. Namun demikian, Allah swt tetap memerintahkan Abu Bakar untuk memberi nafkah kepadanya dan memaafkan perbuatannya. Sebagaimana telah diceritakan sebelumnya, bahkan setelah turunnya ayat itu, Abu Bakar malah menambahkan nafkah/ subsidinya dua kali lipat dibandingkan sebelumnya. Dapatkah kita berbuat seperti itu kepada keluarga kita sendiri ketika seseorang menuduh kita atau keluarga kita telah melakukan perbuatan yang buruk? Bahkan yang sering terjadi adalah, kita akan memusuhi orang tersebut dan bahkan seluruh anggota kerabatnya yang berhubungan dengannya. Kita benar-benar akan memutuskan hubungan dengannya, dan bahkan kita tidak akan mau menghadiri segala undangannya.

Allah swt telah berfirman agar kita tidak memendekkan tangan kita dari memberi bantuan terhadap mereka. Tetapi yang terjadi pada diri kita justru sebaliknya. Namun, bagi orang yang di dalam hatinya terdapat hakikat iman, keagungan Allah dan kebesaran Allah swt, ia akan tetap membantu mereka. Inilah yang disebut taat. Semoga Allah swt Yang Maha Tinggi menurunkan rahmat-Nya dan mengangkat derajat mereka sesuai dengan kemuliaan mereka. Para shahabat Nabi, seperti Abu Bakar juga sama dengan kebanyakan manusia lainnya, yang memiliki sifat marah dan sifat-sifat manusiawi lainnya. Akan tetapi, demi untuk memperoleh keridhaan Allah swt, mereka sanggup untuk mengesampingkan gengsi, nama baik, kecemburuan dan lain-lain.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab III Silaturahmi - Ayat ke-1

Bagian ini merupakan penyempurnaan dari bab-bab sebelumnya. Allah swt dalam kalam suci-Nya dan Rasulullah dalam sabda-sabdanya menekankan silaturahmi ini secara khusus dan memberikan ancaman secara khusus pula kepada orang-orang yang memutuskan silaturahmi. Karena pentingnya masalah ini, pembicaraan ini ditulis dalam bab tersendiri. Rasulullah saw bersabda,” Bersedekah kepada ahli keluarga itu dua kali lipat pahalanya.” ( Kanzul Ummal ).

Ketika Ummul Mukminin Maimunah r.ha. telah memerdekakan seorang hamba sahaya perempuan, maka Rasulullah saw bersabda,” Jika kamu memberikannya kepada pamanmu, itu lebih utama.” ( Kanzul Ummal ). Dalam bersedekah, bila tidak ada ketentuan keagamaan yang lebih penting, maka bersedekah kepada kaum kerabat itu lebih utama daripada kepada orang lain yang bukan kerabat. Tetapi jika untuk kepentingan agama, maka membelanjakan harta di jalan Allah swt, pahala yang akan diperoleh dilipatgandakan 700 kali. Dalam Al Qur’an dan hadits, banyak sekali disebutkan tentang keutamaan menyambung silaturahmi dan ancaman bagi yang memutuskannya.

Ayat ke-1





“ Sesungguhnya Allah menyuruh ( kamu ) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberikan pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” ( QS An Nahl: 90 )

Keterangan

Di dalam Al Quran didapati banyak sekali firman Allah swt mengenai perintah dan anjuran untuk menyayangi kaum kerabat dan bersedekah kepada mereka. Selanjutnya di sini akan ditampilkan juga beberapa ayat mengenai masalah tersebut. Ayat-ayat tersebut adalah:


Beberapa ayat di atas sekedar contoh, karena jika ditampilkan semuanya beserta terjemahannya, dikhawatirkan akan terlalu panjang. Jika Allah swt menyebutkan suatu perkara secara berulang-ulang di dalam kalam suci-Nya, maka pasti perkara tersebut sangat penting. Ka’ab Akhbar r.a., berkata,” Demi Dzat yang telah membelah lautan untuk Nabi Musa a.s. dan bani Israel, telah ditulis di dalam Taurat,’ Jika kamu selalu takut kepada Allah swt dan selalu menyambung tali silaturahmi, Aku akan menambah umurmu, Aku akan memudahkan urusan-urusanmu, dan Aku akan menjauhkan dirimu dari kesulitan.’ “
Di beberapa tempat dalam Al Qur’an, Allah swt telah memerintahkan untuk menyambung tali silaturahmi. Allah swt berfirman,”

 


“ Bertaqwalah kepada Allah yang dengan ( mempergunakan ) nama-Nya, kamu saling meminta, dan ( peliharalah ) hubungan silaturahmi.” ( An Nisaa: 1 )

Yakni sambunglah tali silaturahmi dengan mereka dan jangan memutuskan hubungan dengan mereka. Dalam ayat yang lain, Allah swt berfirman:




“ Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya.” ( Al Israa 26 )

Yakni tunaikanlah hak saudara-saudaramu dan sambunglah tali silatuahmi.

Di tempat yang lain, Allah swt berfirman:






“ Sesungguhnya Allah menyuruh ( kamu ) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberikan pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” ( QS An Nahl: 90 )

Yakni, Allah swt memerintahkan kita untuk mentauhidkan-Nya dan bersaksi dengan Laa ilaaha illallohu, berbuat baik kepada orang lain, memaafkan mereka, menyambung tali silaturahmi dan bersedekah kepada mereka. Setelah memerintahkan tiga perkara, Dia melarang berbuat keji, dosa, kemungkaran dan menzalimi orang lain. Kemudian Allah swt berfirman bahwa perkara-perkara tersebut dinasihatkan kepada manusia, agar manusia mau menerima nasihat-Nya.

Utsman bin Madz’un r.a. berkata,” Saya sangat mencintai Rasulullah saw. Rasulullah selalu menyuruh saya untuk masuk Islam. Karena merasa malu, akhirnya saya pun masuk Islam, tetapi Islam belum masuk ke dalam hati saya. Suatu ketika, saya duduk di samping Rasulullah sambil berbincang dengan beliau. Tiba-tiba di tengah pembicaraan itu, beliau saw melihat ke arah lain sehingga seakan-akan beliau berbicara dengan orang lain. Sebentar kemudian, beliau menghadap ke arah saya lagi dan bersabda,’ Jibril a.s. datang dengan membawa ayat ini:







( An Nahl 90 )

Saya merasa sangat senang setelah mendengar makna yang terkandung di dalamnya, sehingga Islam telah masuk ke dalam hati saya. Setelah bangkit dari tempat itu,saya pergi kepada paman Nabi saw, yaitu Abu Thalib ( yang tidak mau memeluk Islam ), lalu saya berkata kepadanya,” Saya tadi duduk di samping keponakanmu pada saat ayat ini diturunkan kepada beliau.” Ia berkata,” Ikutilah Muhammad, kamu akan memperoleh kejayaan. Demi Allah, terlepas dari apakah ia benar atau salah dalam pengakuannya sebagai Nabi, tetapi ia mengajari kalian kebiasaan yang baik dan akhlak yang mulia.” ( Dari Kitab Tanbihul Ghaafilin ). Inilah nasihat dari seseorang yang belum masuk Islam. Meskipun ia menyangsikan kenabian keponakannya, ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam itu merupakan ajaran yang terbaik dan mengajarkan akhlak yang mulia. Tetapi anehnya, pada hari ini orang Islam justru berakhlak buruk.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab II Celaan Terhadap Kebakhilan/ Kekikiran - Hadits ke-1

Hadits-Hadits Mengenai Kebakhilan

Hadits ke-1

Dari Abu Sa’id r.a., berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,” Dua kebiasaan yang tidak bisa berkumpul dalam diri seorang mukmin, yaitu kikir dan akhlaq yang buruk. ( Hadits Riwayat Tirmidzi- Misykat)

Keterangan

Berbuat bakhil/ pelit dan berakhlaq buruk sama sekali bukanlah sifat seorang mukmin. Orang yang berbuat demikian hendaklah meneliti imannya. Orang yang seperti ini dikhawatirkan akan kehilangan iman. Karena, setiap perbuatan baik akan menyebabkan orang yang melakukannya akan melakukan perbuatan baik lainnya. Demikian juga dengan perbuatan buruk, pun akan menyebabkan dilakukannya perbuatan buruk lainnya. Dalam hadits yang lain juga disebutkan bahwa Nabi saw bersabda,” Syuhh ( tingkatan tertinggi sifat kikir ) tidak bisa berkumpul dengan iman.” ( Misykat ). Karena antara syuhh dan iman sangat bertolak belakang, maka keduanya tidak dapat berkumpul. Sebagaimana berkumpulnya air dan api, yang lebih kuat tentu akan mengalahkan dan membinasakan yang lemah. Jika airnya lebih banyak, maka air itu akan memadamkan api. Sebaliknya jika apinya lebih banyak, maka akan membakar air. Dua benda tersebut memiliki sifat yang bertentangan. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa setiap wali yang diciptakan Allah swt, pasti memiliki dua karakter, yaitu kedermawanan dan akhlaq yang baik. ( Kanzul Ummaal )

Dalam hadits yang lain lagi dikatakan,” Tidak ada seorang wali Allah pun yang diciptakan tanpa memiliki sifat dermawan.” ( Kanzul Ummal ). Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa orang yang dekat dengan Allah dan cinta kepada-Nya, maka hatinya selalu ingin membelanjakan hartanya untuk makhluq-makhluq-Nya. Karena di antara sesuatu yang harus dikerjakan sebagai bukti cinta kepada-Nya adalah membelanjakan harta yang dicintai kepada keluarga dan kerabat. Jika semua makhluk itu merupakan keluarga Allah swt, maka hati seorang wali pasti ingin membelanjakan hartanya untuk makhluk-Nya. Orang yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Allah swt, hatinya selalu ingin membelanjakan hartanya untuk mencari ridha-Nya. Dan jika hatinya tidak ingin membelanjakan hartanya, tenttu saja ini merupakan pertanda bahwa cintanya kepada harta melebihi cintanya kepada Allah swt, dan pengakuannya bahwa ia mencintai Allah adalah pengakuan yang dusta.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Senin, 07 September 2009

Bab VI Anjuran Supaya Zuhud, Qan'ah dan Tidak Meminta-minta

Keutamaan qana'ah, dorongan dan anjuran agar bersabar ketika menghadapi musibah, dan celaan terhadap orang yang meminta-minta, ketiga perkara ini banyak disebutkan dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi saw. dengan bentuk dan kandungan yang berbeda-beda, baik melalui tamsil, peringatan, atau dalam bentuk kisah. Sehingga, meskipun ketiga perkara ini telah diringkas dalam buku ini, tetap saja merupakan buku yang tebal.
Di bagian terakhir Bab II telah dijelaskan bahwa di dalam harta terdapat manfaat dan terdapat bahaya. Harta adalah racun, tetapi juga ada penawarnya. Rasulullah saw. bersabda, "Bagi setiap umat terdapat fitnah, dan fitnah bagi umatku adalah harta." Karena itu, sangat penting menjaga diri dari fitnah dan racun yang berupa harta tersebut. Sebagaimana ular, bagi orang yang dapat menjadikannya sebagai obat, tentu akan berguna bagi dirinya dan bagi orang lain. Jika tidak, ia akan menjadi racun yang dapat membinasakan dirinya dan merugikan orang lain. Rasulullah saw. bersabda, "Harta itu hijau dan manis. Jika ia dihasilkah dengan cara yang hak (yakni sesuai dengan aturan dan syari'at) dan dibelanjakan sesuai dengan syari'at pula, maka akan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kita dan menjadi penolong kita. Dan barangsiapa yang memperolehnya tidak dengan cara yang hak, maka sama halnya dengan orang yang terkena penyakit ju'ul-baqar, yaitu orang yang terus-menerus makan, tetapi tidak pernah kenyang." (Misykat).

Imam Ghazali rah.a. berkata, "Di dalam harta ada manfaat, juga ada madharatnya. Perumpamaannya seperti ular. Barangsiapa yang mengetahui mantranya, ia dapat menangkap ular dan mencabuti giginya, lalu ia akan membuat obat penawar racun darinya. Jika orang yang tidak mahir menangkap ular, tetapi begitu melihat ular langsung menangkapnya, maka ular itu akan mematuknya sehingga ia akan binasa. Orang yang memperhatikan lima perkara berikut ini, dialah yang selamat dari racun harta:
1. Mengetahui maksud dan tujuan diciptakannya harta sehingga dalam menggunakannya akan sesuai dengan maksud dan tujuan harta itu diciptakan.
2. Memperhatikan betul-betul dari mana harta itu berasal dan bagaimana cara mendapatkannya. Jangan sampai harta itu tercampur dengan harta yang tidak benar dalam mendapatkannya, misalnya hadiah yang diragukan asal-usulnya, apakah harta itu berasal dari suap atau meminta-minta, sehingga dikhawatirkan akan menjadi sebab kehinaan kita.
3. Tidak menyimpan harta melebihi keperluan. Hendaknya menyimpan harta sekadar yang diperlukan, dan selebihnya segera disedekahkan.
4. Memperhatikan untuk apa harta itu dibelanjakan, jangan sampai harta itu dibelanjakan tidak pada tempatnya atau dibelanjakan yang tidak diperbolehkan oleh syariat.
5. Niat senantiasa harus ikhlas, baik dalam mencarinya, membelanjakannya, menyimpannya sekadar yang diperlukan. Semuanya itu hendaknya semata-mata untuk mencari ridha Allah swt. Apa saja yang disimpan atau digunakan sendiri, hendaknya hanya untuk memperoleh kekuatan dalam mentaati Allah swt.. Sedangkan yang melebihi keperluan, anggaplah sebagai barang sia-sia dan permainan, lalu secepatnya disedekahkan. Anggaplah harta yang berlebih itu sebagai sesuatu yang hina jika disimpan, sehingga harta itu perlu segera disedekahkan. Jangan sampai beranggapan bahwa harta yang berlebih itu sebagai sesuatu yang sangat berharga. Jika kita memiliki harta yang tidak berlebihan, maka harta yang demikian ini tidak berbahaya bagi kita. Ali r.a. berkata, "Jika ada orang yang mengambil harta seluruh dunia semata-mata karena Allah swt. (bukan untuk kepentingan pribadi), ia adalah seorang ahli zuhud. Dan jika ada orang yang tidak mengambil harta meskipun hanya sedikit, tetapi apa yang dilakukannya itu bukan karena Allah (yakni untuk tujuan keduniaan seperti meraih kedudukan dan sebagainya), maka ia adalah seorang ahli dunia." (Ihya').
Dalam sebuah hadits disebutkan, "Harta itu hijau dan manis. Barangsiapa yang memperolehnya dengan cara yang hak, harta itu akan menjadi keberkahan baginya." Dalam hadits yang lain disebutkan, "Betapa baiknya dunia ini sebagai tempat tinggal bagi orang yang menjadikannya sebagai bekal untuk akhirat, dan menyebabkan Allah swt. ridha. Dan betapa buruknya dunia ini sebagai tempat tinggal bagi orang yang terpikat dengannya sehingga melalaikannya dari akhirat, dan menyebabkan kelalaiannya dalam mencari ridha Allah swt." (Kanzul-'Ummal).
Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa pada hakikatnya harta itu bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi merupakan sesuatu yang baik, banyak manfaatnya, baik untuk kepentingan dunia dan agama. Sehingga, banyak hadits-hadits yang menganjurkan agar kita mencari rezeki agar memperoleh harta. Akan tetapi, karena di dalam harta juga terdapat racun, padahal di dalam hati manusia pada umumnya terdapat penyakit, maka dalam Al-Qur'an dan hadits diingatkan agar kita jangan menumpuk-numpuk harta. Harta yang berlebihan tidak akan mendatangkan manfaat, bahkan akan membinasakan. Karena itu, Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang dicintai Allah swt., Allah akan menjaganya dan menyelamatkannya dari dunia sebagaimana kalian menjaga orang-orang sakit agar tidak terkena air." (Misykat). Air sangatlah diperlukan dalam kehidupan. Tanpa air, kehidupan tidak akan berlangsung. Meskipun demikian, ketika dokter mengatakan bahwa air berbahaya bagi orang yang sedang sakit, maka air perlu dijauhi. Pada umumnya, dengan banyaknya harta yang berlebihan, banyak sekali kerugian yang akan diperoleh. Adapun yang menjadi penyebabnya adalah orang yang hatinya tidak bersih sangat mudah terpengaruh oleh akibat buruk dari harta benda. Karena itulah Rasullah saw. bersabda, "Adakah di antara kalian yang berjalan di atas air tetapi kakinya tidak basah?" Para sahabat berkata, "Ya Rasulullah, tidak ada orang yang seperti itu." Rasulullah saw. bersabda, "Demikianlah keadaan ahli dunia, sulit baginya untuk menghindari dosa." (Misykat). Kenyataannya memang demikian, banyak orang yang menjadi kikir, hasud, congkak, iri hati, riya', bangga diri, penyakit-penyakit hati lainnya, dan berbagai jenis dosa yang disebabkan oleh harta. Demikian pula dengan minuman keras, berjudi, riba, dan berbagai macam dosa syahwat banyak disebabkan oleh harta. Jika cinta kepada harta telah bersemayam di hati, semakin banyak harta yang dimilikinya, ia akan semakin berusaha untuk mencarinya lebih banyak. Dalam beberapa hadits, Rasulullah saw. bersabda, "Jika seseorang memiliki dua lembah emas, ia akan mencari lembah yang ketiga." Pengalaman dan kenyataan di dunia ini menunjukkan bahwa orang selalu saja merasa tidak cukup dengan jumlah uang yang telah dimilikinya, kecuali orang yang dikasihi Allah swt.. Atas dasar inilah di dalam Al-Qur'an dan hadits banyak terdapat anjuran agar kita bersikap qana'ah untuk mengurangi penyakit ju'ul-baqar. Maka, hakikat dunia, kotorannya, dan kehancurannya perlu dijelaskan agar kecintaan terhadapnya berkurang. Jangan sampai kita mencintai sesuatu yang akan hilang dan akan musnah, tetapi yang perlu kita cintai adalah sesuatu yang kekal abadi dan selalu bermanfaat. Banyak anjuran dan dorongan agar kita bersabar dalam hal harta benda sehingga kita tidak lagi beranggapan bahwa kurangnya harta benda yang kita miliki tidak dianggap sebagai musibah. Bahkan, terkadang kekurangan harta benda ini mengandung hikmah yang besar dari Allah swt.. Allah swt. berfirman:
"Dan jika Allah melapangkan rezeki hamba-hamba-Nya, tentu mereka akan melampaui batas di muka bumi." (Q.s. Asy-Syura: 27).
Hati manusia selalu condong kepada harta benda. Dalam mencari harta benda, meminta-minta itu dilarang oleh agama. Pembahasan tentang buruknya meminta-minta telah banyak disebutkan. Karena cinta terhadap harta, dan pikiran pun selalu berusaha memperbanyak harta, banyak sekali orang yang tidak malu-malu meminta-minta, meskipun tidak dalam keadaan terpaksa. Tanpa harus bersusah-payah, hanya dengan menggerakkan lidahnya saja, orang yang meminta-minta dapat memperoleh harta benda.
Selanjutnya, di bawah ini akan dibahas tentang qana'ah, sabar dalam menghadapi musibah, dan celaan kepada orang yang meminta-minta.

Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab VII Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan - Kisah ke-1

Di dalam bab ini akan diketengahkan berbagai kisah tentang para ahli zuhud dan orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah swt.. Mereka adalah orang-orang yang telah memahami hakikat dunia dan akhirat, sehingga mereka membenci dunia, kampung tipu daya. Di dunia ini, yang mereka usahakan adalah mempersiapkan kehidupan untuk kampung akhirat. Dilihat dari mafhum dan bentuk amalnya, zuhud dan kedermawanan merupakan dua perkara yang berbeda. Tetapi jika dilihat dari tujuan akhirnya merupakan dua perkara yang sama. Karena, jika di dalam diri seseorang terdapat sifat zuhud (tidak mencintai dunia), ia tentu akan memiliki sifat dermawan. Jika ia tidak suka menyimpan harta benda, ia tentu akan menginfakkan harta benda tersebut. Dengan demikian, orang yang memiliki sifat dermawan hanyalah orang yang tidak mencintai dunia. Semakin seseorang mencintai dunia, ia tentu akan semakin bakhil. Berdasarkan kaidah inilah maka kisah-kisah mengenai dua perkara ini dikumpulkan menjadi satu. Karena itulah di dalam risalah ini, yakni di dalam Fadhilah Sedekah ini, disebutkan pula ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai zuhud karena hiasan bagi orang yang tidak mencintai dunia adalah suka menginfakkan hartanya di jalan Allah swt.. Selagi seseorang cinta kepada dunia, selama itu pula ia tidak ingin membelanjakan hartanya di jalan Allah swt.. Jika suatu ketika ia menginginkannya, maka tabiatnya tentu tidak akan membiarkannya. Hal inilah yang oleh Rasulullah saw. diumpamakan dengan sebuah contoh yang sangat bagus. Beliau bersabda, "Perumpamaan orang yang bakhil dan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah swt. bagaikan dua orang yang dipakaikan kepada keduanya dua baju besi yang membelenggunya, sehingga kedua tangannya menempel di dadanya, tidak berada di luar baju besi itu. Jika seseorang yang ahli sedekah menginfakkan hartanya, baju besi itu akan terbuka dengan sendirinya (tanpa susah payah, tangan itu akan keluar dari baju besi itu). Sedangkan orang bakhil bila ingin bersedekah, baju besi itu akan lebih membelenggunya, sehingga tangannya tidak bisa digerakkan di tempatnya." (Misykat). Maksudnya, jika orang yang dermawan ingin bersedekah, hatinya akan bergembira sehingga ia akan bersedekah tanpa merasa keberatan sedikit pun. Sedangkan orang yang bakhil, jika didorong, mendengar pembicaraan, atau karena alasan yang lain supaya bersedekah, maka dari dalam dirinya akan ada sesuatu yang mengekangnya seperti baju besi yang membelenggu badannya dan mengikat tangannya. Ketika tangan ingin dikeluarkan dari dalam baju besi itu dengan kuatnya, yakni hati berusaha untuk memahamkannya, tetapi ia tidak mau mendengarkannya, dan tangannya tidak mau bergerak. Ini adalah contoh yang sesuai dengan kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat bahwa ada orang-orang bakhil yang ingin bersedekah, tetapi tangannya tidak mau digerakkan. Ketika ada kesempatan untuk membelanjakan harta sepuluh rupee, tetapi yang mampu diinfakkan hanya sepuluh sen.

Kisah ke-1
Selama masa hidupnya, kisah-kisah tentang kedermawanan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. begitu banyaknya, sehingga sangat sulit untuk dikumpulkan menjadi satu. Salah satu kisah yang masyhur adalah pada waktu perang Tabuk, ketika Rasulullah saw. menghimbau untuk mengumpulkan bantuan, Abu Bakar r.a. telah mengumpulkan semua harta benda yang ada di rumahnya, lalu diberikan kepada Rasulullah saw.. Dan ketika Rasulullah saw. bertanya, "Wahai Abu Bakar, apa yang engkau tinggalkan di rumahmu?" Ia menjawab, "Allah swt. dan Rasul-Nya (yakni perbekalan yang berupa keridhaan-Nya dan Rasul-Nya) ada di rumah. Kisah ini telah disebutkan di dalam kitab Hikayatush-Shahabat secara terperinci. Saya juga telah menuliskan kisah sahabat yang lain di dalam kitab tersebut. Jika kita membacanya, kita akan mengetahui bahwa ikram, kasih sayang, dan membelanjakan harta di jalan Allah swt. merupakan bagian dari kehidupan para sahabat r.hum.. Jika kita bisa meniru sedikit saja, kita tidak tahu apakah yang akan dikatakan orang-orang tentang diri kita. Akan tetapi, kisah-kisah semacam itu bagi para sahabat merupakan perkara yang biasa, khususnya bagi Abu Bakar Shiddiq r.a.. Adakah keterangan yang lebih jelas daripada yang difirmankan Allah swt. sendiri di dalam Al-Qur'an?
"Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan." (Q.S. Al-Lail: 17-21)
Ibnu Jauzi rah.a. berkata, "Para ulama sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar Shiddiq r.a.. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, "Harta seseorang tidak memberikan manfaat bagiku sebanyak harta Abu Bakar r.a." Setelah mendengar sabda Rasulullah saw. tersebut, Abu Bakar Shiddiq r.a. menangis dan berkata, "Wahai Rasulullah, apakah diri saya dan harta saya menjadi milik selain engkau?" Sabda Nabi saw. ini banyak diriwayatkan dari beberapa sahabat dalam beberapa riwayat. Di dalam sebuah riwayat dari Sa'id bin Musayyab rah.a. terdapat tambahan, "Rasulullah saw. menggunakan harta Abu Bakar r.a. seperti ketika menggunakan hartanya sendiri." Urwah r.a. berkata, "Ketika Abu Bakar r.a. masuk Islam, ia mempunyai uang sebanyak 40.000 dirham, semuanya dibelanjakan untuk Rasulullah saw. (yakni dalam keridhaan Rasululullah saw.). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika ia masuk Islam, ia mempunyai uang sebanyak 40.000 dirham. Dan pada waktu hijrah, yang tersisa hanya 5000 dirham. Harta itu digunakan untuk memerdekakan hamba-hamba sahaya (yang disiksa karena masuk Islam) dan untuk keperluan agama. (Tarikhul-Khulafa')
Abdullah bin Zubair r.huma. berkata bahwa Abu Bakar Shiddiq r.a. selalu membeli hamba sahaya yang lemah lalu memerdekakannya. Ayahnya, Abu Quhafah r.a., berkata, "Jika kamu ingin memerdekakan hamba sahaya, merdekakanlah hamba sahaya yang kuat-kuat, karena dia akan bisa membantumu dan bisa berguna bagi kita. Abu Bakar Shiddiq r.a. menjawab, "(Saya tidak memerdekakan budak untuk diri saya), tetapi saya memerdekakannya untuk mencari keridhaan Allah swt." (Durrul-Mantsur). Di sisi Allah swt., pahala membantu orang-orang yang lemah lebih banyak daripada membantu orang-orang yang kuat.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Tidak seorang pun yang telah berbuat baik kepadaku dan aku belum membalas kebaikannya. Tetapi kebaikan Abu Bakar r.a. menjadi tanggung jawabku (beliau tidak bisa membalasnya). Allah swt. sendirilah Yang akan membalas kebaikannya pada hari Kiamat. Harta seseorang tidak memberikan manfaat bagiku sebanyak manfaat yang di berikan oleh harta Abu Bakar r.a." (Tarikhul-Khulafa')





Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab V Ancaman Bagi Yang Tidak Berzakat - Ayat ke-1 & 2

Di dalam Al-Qur'an bahyak sekali disebutkan tentang ancaman bagi orang-orang yang tidak menunaikan zakat. Para ulama juga banyak yang menjelaskan tentang masalah ini. Sebagian dari masalah ini telah ditulis dalam Bab II, yakni tentang ancaman bagi orang-orang yang tidak mau menginfakkan harta mereka. Dengan demikian jelaslah bahwa ancaman-ancaman yang telah dibicarakan itu ditujukan kepada orang-orang yang tidak menunaikan zakat.

Ayat ke-1

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, 'Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.'" (Q.s. At-Taubah: 34-35)

Ayat ini telah diketengahkan dalam Bab II Ayat ke-5. Para sahabat r.hum. dan para ulama telah sepakat bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah zakat. Adapun adzab yang pedih sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut ditujukan bagi orang-orang yang tidak menunaikan zakat, sebagaimana telah dijelaskan dalam keterangan mengenai ayat tersebut. Dalam beberapa hadits Nabi saw. dijelaskan bahwa bentuk adzab yang disebutkan dalam ayat suci tersebut adalah bahwa hartanya akan dipanaskan lalu diseterikakan di dahi dan lambung orang tersebut. Inilah adzab bagi yang tidak menunaikan zakat. Semoga Allah dengan limpahan karunia-Nya menjaga kita dari adzab tersebut. Disentuh dengan kawat yang dipanaskan saja tentunya merupakan penderitaan yang tidak terperikan, apalagi jika harta itu dipanaskan kemudian diseterikakan kepada orang yang tidak mau membayar zakat, tentu sangat mengerikan. Bahkan dengan menyimpan emas dan perak selama beberapa hari saja, adzab yang akan ditimpakan kepadanya sangatlah pedih.

Ayat ke-2


 



“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah swt berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari Kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apayang kamu kerjakan." (Q.s. Ali 'Imran: 180).

Ayat suci ini telah dikutip secara lengkap pada bab kedua ayat ketiga. Hadits berikut yang diriwayatkan oleh Bukhari menguatkan hadits di atas. Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa dikaruniai harta oleh Allah swt., tetapi tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari Kiamat nanti, harta tersebut akan berubah menjadi seekor ular yang dikalungkan di lehernya. Dan.ular tersebut akan berkata, 'Aku ini adalah hartamu, dan aku adalah harta simpananmu."
Ketika seekor ular terlihat di dalam sebuah rumah, maka orang akan merasa takut masuk ke dalamnya dalam kegelapan. Akan tetapi, Rasulullah saw. telah bersabda bahwa apabila seseorang tidak membayar zakat atas hartanya, dan. menyimpannya sebagai harta yang terpendam, maka pada hari Kiamat, harta tersebut akan berubah menjadi seekor ular yang melilit di lehernya. Apabila dalam sebuah rumah terdapat seekor ular, maka terdapat dua kemungkinan, yakni ular tersebut menyerang kita atau tidak menyerang kita. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, orang pasti sudah merasa ketakutan, dan selalu waspada melihat di sekelilingnya, serta merasa khawatir kalau-kalau ular tersebut muncul dari lubang-lubang yang tidak diketahuinya. Sedangkan adzab bagi orang yang tidak membayar zakat, yakni berbentuk seekor ular yang melilit di leher merupakan sebuah kepastian. Anehnya, kita tidak takut terhadap ancaman ini.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab IV Pentingnya Zakat dan Keutamaannya - Ayat ke-2

Ayat ke-2



“ Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” ( QS Al A’raaf: 156 )

Dinukilkan dari Hasan rah.a. dan Qatadah rah.a. bahwa rahmat Allah swt di dunia meliputi semua orang, baik orang sholeh maupun orang jahat. Akan tetapi, di akhirat, rahmat Allah swt hanya akan diberikan kepada orang-orang yang bertaqwa saja. Pada suatu ketika, seorang Arab Badui datang ke masjid Nabawi dan setelah sholat ia berdoa,” Ya Allah, turunkanlah rahmat-Mu kepadaku dan Muhammad saw saja dan jangan biarkan orang lain mendapatkan bagian rahmat-Mu bersama kami.” Mendengar doa orang tersebut, Rasulullah saw. bersabda,” engkau telah membatasi keluasan ramat Tuhanmu. Allah swt membagi rahmat-Nya menjadi seratus bagian. Satu rahmat telah diturunkan di dunia dan dibagi ke seluruh dunia. Oleh karena itu, seluruh makhluk baik jin, manusia ataupun binatang saling menyayangi. ( kepada anak-anak mereka, sanak keluarga dan yang lain ). Sedangkan 99 bagian rahmat sisanya, disimpan di sisi-Nya.”
Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa rahmat Allah ada seratus bagian. Satu bagian telah diturunkan kepada seluruh makhluk, sehingga dengannya mereka saling mengasihi, dan bahkan hewan-hewan pun mengasihi anak-anaknya. Di samping itu, Allah swt masih menyimpan 99 bagian yang akan diberikan pada hari kiamat. Masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang hal ini. ( Durrul Mantsur )

Sungguh suatu hal yang menggembirakan betapa ibu begitu sayang kepada anak-anaknya, sampai-sampai sedikit saja anak mengalami kesusahan, maka ia atidak akan merasa tenang. Seorang ayah pun akan merasa sedih jika anak-anaknya mengalami suatu musibah. Demikian pula terhadap kaum kerabat, keluarga, suami istri, atau orang lain akan merasa kasihan apabila melihat yang lain mengalami kesusahan. Semua ini merupakan perwujudan dari rahmat Allah swt yang diletakkan di dalam hati makhluknya. Jika rahmat di seluruh dunia ini dikumpulkan menjadi satu, maka jumlahnya itu hanya satu persen dari rahmat Allah keseluruhan, sedangkan sisanya yang 99 persen, masih tersimpan di sisi-Nya. Betapa tidak malu dan betapa zalimnya jika ada orang yang tidak menghiraukan perintah Dzat Yang Maha Penyayangdan Maha Pengasih. Apabila ada seorang ibu yang sangat sayang kepada anaknya, kemudian anaknya itu tidak menghiraukan perintah-perintahnya, maka alangkah sedih hati ibu itu. Padahal kasih sayang seorang ibu, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kasih sayang Allah swt. Oleh karena itu , bisa dibayangkan jika manusia melalaikan perintah-perintah-Nya.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

What Does This Blog Talk? Blog ini Bicara Tentang...

This blog wanna share to all of you about greatness and amazing benefit of sedekah or giving. You wanna find that if we make sedekah, it will not decrease your wealth.

Let's read and get yourself enlightened !!

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP