Sabtu, 09 Oktober 2010

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-17

Kisah  Ke-17

Seorang Quraisy sedang dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang fakir yang sakit, dan berbagai musibah telah menimpanya membuat dirinya tidak berdaya. Maka orang miskin itu meminta bantuan kepadanya, "Tolonglah saya." Orang Quraisy itu berkata kepada hamba sahayanya, "Bawalah semua perbekalan yang ada padamu." Hamba sahaya itu pun menuangkan semua perbekalan yang dibawanya, yang jumlahnya mencapai 4.000 dirham untuk diberikan kepada orang miskin itu. Orang fakir itu hendak bangkit untuk membawanya, tetapi karena sangat lemah, ia tidak mampu berdiri, sehingga ia hanya menangis karena memperoleh uang sebanyak itu. Orang Quraisy itu mengira bahwa orang miskin itu menganggap bahwa pemberian itu sedikit, sehingga ia menangis. Maka orang Quraisy itu bertanya, "Apakah engkau menangis karena pemberianku ini terlalu sedikit?" ( pada saat itu, orang Quraisy tersebut sudah tidak mempunyai yang lain). Orang miskin itu berkata, "Tidak, aku menangis bukan karena pemberianmu sedikit. Aku menangis karena betapa banyak orang yang telah mendapatkan kemurahanmu itu." ( Ithaf )



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-16

Kisah Ke-16


Suatu ketika, sebuah rombongan dari Arab menziarahi makam seseorang yang sangat dermawan. Perjalanan yang ditempuhnya cukup jauh. Pada malam harinya, mereka bermalam di makam tersebut. Salah seorang di antara mereka bermimpi melihat penghuni makam itu berkata kepadanya, "Maukah engkau menjual untamu seharga untaku dari jenis bukhti? ( bukhti adalah jenis unta yang paling mahal ). Dalam mimpi itu, ia menyetujui untuk menjual unta tersebut. Orang yang bermimpi menyelesaikan urusan jual beli di dalam mimpinya itu juga. Kemudian penghuni kubur itu bangkit dari kuburnya dan menyembelih unta yang dibelinya. Ketika orang yang bermimpi itu terbangun, ia melihat untanya mengeluarkan darah. Ia pun bangkit dan menyembelih untanya ( karena sudah tidak ada lagi harapan unta tersebut akan hidup ). Ia membagi-bagikan semua dagingnya, dan memasaknya serta menyantapnya hingga kenyang bersama rombongannya. Setelah itu mereka pun pulang. Ketika tiba di tempat berikutnya, mereka bertemu dengan seseorang yang menunggangi seekor unta bukhti yang sedang mencari-cari nama-seseorang. "Adakah orang yang bernama Fulan di antara kalian?" Orang yang bermimpi itu berkata, "Itu adalah namaku." Orang itu bertanya, "Apakah engkau menjual sesuatu kepada penghuni kubur itu?" Orang yang bermimpi itu menceritakan kisah mimpinya, dan orang yang menunggang seekor unta Bukhti itu berkata, "Kubur itu adalah kubur ayahku, dan ini unta bukhtinya." Ia berkata kepadaku di dalam mimpi, "Jika engkau benar-benar anakku, maka berikanlah unta bukhti ini kepada Fulan, kemudian ia menyebut namamu. Unta bukhti ini aku serahkan kepadamu." Setelah berkata seperti itu, ia menyerahkan unta tersebut kemudian pergi. ( Ithaf )
Demikianlah contoh kedermawanan yang tidak ada batasnya. Sampai sepeninggalnya, orang yang dermawan tersebut masih tetap menjamu orang-orang yang berkunjung kepadanya. Ia menjual untanya yang bagus untuk menjamu tamu-tamunya.
Sekarang masalahnya, mengapa kejadian seperti ini bisa terjadi setelah mati? Jawabnya, kejadian itu bukan hal yang mustahil. Kejadian-kejadian seperti ini mungkin saja terjadi di alam arwah.




Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-15

Kisah  Ke-15


Abu Martsad rah. a. adalah seorang dermawan yang terkenal. Pada suatu ketika, datanglah seseorang kepadanya dan membaca beberapa bait syair untuk memujinya ( memuji orang yang dermawan adalah cara untuk meminta kepadanya). Abu Martsad rah. a. berkata kepada laki-laki itu, "Pada saat ini, aku tidak memiliki sesuatu apa pun yang dapat aku berikan kepadamu. Tetapi aku dapat menolongmu dengan cara yang dapat engkau lakukan, yaitu pergilah engkau kepada Qadhi dan menyatakan kepadanya bahwa aku mempunyai utang sebesar 10.000 dirham. Aku juga akan menyatakan hal itu di hadapan Qadhi, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
                "Janji adalah utang."

Kemudian qadhi itu akan mengirimku ke penjara, dan keluargaku akan berusaha mencari uang untuk menebusku." Kemudian, laki-laki tersebut melakukan apa yang diperintahkan oleh Abu Marstad rah.a., sehingga Abu Martsad rah.a. dikirim ke penjara, dan keluarganya mengumpulkan sejumlah uang untuk menebusnya. Uang tersebut mereka berikan kepada Qadhi pada sore harinya. Akhirnya, laki-laki itu mendapatkan uang sebesar sepuluh ribu (dirham atau dinar), dan Abu Martsad rah.a. pun dibebaskan. ( Kitab Ithaf )



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-14

Kisah Ke-14


Pada suatu ketika, di Mesir terjadi kelaparan. Abdul-Hamid bin Sa'ad rah.a., seorang Gubernur Mesir berkata, "Akan aku katakan kepada syaitan bahwa aku adalah musuhnya ( dalam keadaan seperti ini, dia mendorong orang-orang untuk membelanjakan harta mereka dengan hati-hati ). Pada musim paceklik seperti ini, makanan semua orang fakir di Mesir menjadi tanggung jawabku."

Maka orang-orang miskin berdatangan dan makan di rumahnya hingga wabah kelaparan berlalu, dan barang-barang dijual dengan harga yang wajar. Dan ketika harga barang-barang normal kembali, ia dipindahkan dari jabatannya. Diperkirakan, pada saat kepergiannya dari Mesir, ia memiliki utang sebesar satu juta dirham. Kepada pengusaha yang telah meminjamkan uang kepadanya untuk memberi makan kepada fakir miskin selama terjadi wabah kelaparan, ia mengumpulkan perhiasan-perhiasan dari keluarganya sebagai jaminan atas utangnya kepada pengusaha, seharga lima ratus juta dirham. la telah berusaha untuk menebus perhiasan-perhiasan yang digadaikan itu, tetapi uang sebanyak itu belum bisa didapatkan. Maka ia menulis surat kepada para pedagang untuk menjual perhiasan itu dan mengambil dari hasil penjualannya sebanyak hak mereka, dan selebihnya supaya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin Mesir yang belum ia bantu. (  Sumber: Kitab Ithaf ). Pada saat itu, orang-orang yang mempunyai perhiasan adalah orang-orang yang rela perhiasannya dibagi-bagikan kepada fakir miskin.



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-13

Kisah  Ke 13


Sa'id bin Amir r.a. adalah seorang gubernur di Himsh pada masa Khalifah Umar r.a.. Penduduk Himsh sering mengadukan keluhan tentang dirinya kepada Umar r.a. dan meminta agar ia dipecat. Umar r.a. telah diberi oleh Allah s.w.t. kekuatan firasat dan kearifan yang luar biasa, sehingga ia dapat mengetahui dengan tajam watak alamiah seseorang. Hal ini sudah dibuktikan secara berulang kali, bahkan sampai ribuan kali. Mendengar keluhan-keluhan tersebut, Umar r.a. sangat terkejut, karena ia mengangkatnya sebagai seorang gubernur dengan segala pertimbangan bahwa Sa'id adalah orang yang paling memenuhi syarat untuk diangkat sebagai gubernur. Kemudian dalam munajatnya kepada Allah swt., Umar r.a. memohon, "Ya Allah, janganlah Engkau hilangkan firasat dari diriku, karena aku takut dengan tidak adanya kekuatan firasat ini, orang-orang yang bukan ahlinya yang memangku jabatan dapat menyusup ke dalam pemerintahan." Setelah itu, Umar r.a. memanggil Sa'id r.a. dan orang-orang yang mengadukan masalahnya. Umar r.a. bertanya kepada penduduk Himsh, "Apa yang kalian keluhkan tentang dirinya?" Mereka berkata, "Ada tiga hal yang kami keluhkan. Pertama, ia selalu terlambat keluar dari rumahnya pada pagi hari. Kedua, jika ada yang datang pada malam hari kepadanya, ia tidak mau mendengar pengaduan kami. Ketiga, ia berlibur satu hari pada setiap bulannya. Umar r.a. menyuruh kedua kelompok untuk berdiri di depannya, dan memerintahkan untuk menyatakan pengaduannya satu per satu, dan gubernur itu disuruh untuk menjawabnya satu per satu pula. Orang-orang pun berkata, "Ia terlambat keluar dari rumah." Umar r.a. meminta jawaban dari gubernur tersebut, dan gubernur itu menjawab, "Istriku bekerja sendirian, aku membantunya membuat adonan roti, lalu memasaknya. Setelah masak, kami memakannya. Setelah itu aku berwudhu dan keluar dari rumah." Kemudian Umar r.a. menyuruh orang-orang untuk menyatakan keluhannya yang kedua. Umar r.a. berkata, "Apakah keluhan yang kedua?" Mereka berkata, "Ia tidak mau bekerja pada malam hari. Jika ada yang datang kepadanya pada malam hari, hajatnya tidak akan dipenuhi." Umar r.a. berkata, "Apakah jawabanmu?" Sa'id r.a. berkata, "Sebenarnya saya tidak ingin untuk menampakkan bahwa aku telah membagi waktu siang dan malam. Siang hari aku pergunakan untuk makhluk, dan malam harinya untuk Sang Khaliq. Pada malam hari aku berikan semuanya kepada Sang Khaliq." Umar r.a. berkata, "Apakah keluhan kalian yang ketiga?" Mereka berkata, "Ia berlibur satu hari dalam sebulan." Umar r.a. berkata, "Apakah jawabanmu?" Sa'id r.a. berkata, "Saya tidak mempunyai pembantu. Dalam sebulan, saya meluangkan satu hari untuk mencuci baju sendiri. Untuk mengeringkannya diperlukan waktu satu hari, dari pagi hingga sore. Umar r.a. bersyukur kepada Allah swt. karena firasatnya tidak salah. Setelah itu, Umar r.a. berkata kepada orang-orang itu, "Hargailah pemimpin kalian." Setelah mereka pulang semua, Umar r.a. memberi hadiah uang sebesar seribu dinar kepada Sa'id r.a. untuk memenuhi berbagai keperluannya. Ketika menerima uang tersebut, istrinya berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan banyak keperluan kita, sekarang kita tidak perlu bekerja sendiri di rumah. Kita dapat membeli seorang hamba sahaya dan dapat memenuhi keperluan-keperluan kita yang lain. Said r.a. berkata, "Di sini masih ada orang yang lebih memerlukan harta ini daripada kita. Bagaimana pendapatmu, bukankah lebih baik jika uang ini dibelanjakan untuk mereka?" Istrinya pun menerimanya dengan senang hati. la membagi-bagikannya dalam kantung-kantung yang kecil untuk diberikan kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Ringkasnya, ia bagi uang tersebut menjadi banyak, kemudian dibagi-bagikan kepada orang-orang, sehingga hanya tersisa sedikit saja yang kemudian ia berikan kepada istrinya untuk dibelanjakan sedikit demi sedikit. Istrinya berkata, "Sisa uang ini kita belikan hamba sahaya yang dapat membantu mengerjakan pekerjaan rumah kita sehingga engkau akan mendapat kemudahan." la berkata, "Tidak, akan segera datang kepadamu orang yang lebih membutuhkan uang ini daripada kita." ( Sumber: Kitab Asyhar )



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-12

Kisah   Ke- 12


Nafi' r.a. berkata, "Pada suatu ketika Abdullah bin Umar r.huma. bersama pelayannya bepergian ke luar kota Madinah. Pada saat makan, mereka berhenti di suatu tempat untuk makan. Pelayan tersebut menghamparkan alas makan, kemudian mereka duduk, kemudian mereka makan. Ketika itu, seorang penggembala kambing yang sedang menggembala lewat di tempat itu dan mengucapkan salam. Abdullah bin Umar r.huma. pun menawarinya untuk makan bersama-sama. Ia menjawab, "Aku sedang berpuasa." Abdullah bin Umar r.huma. berkata, "Bagaimana engkau berpuasa pada siang hari yang sangat terik ini, lagi pula di tengah sahara. Ia menjawab sambil menyebutkan ayat Al-Qur'an, "Aku ingin menerima pahala dari hari-hariku yang telah lalu:
"Kepada mereka dikatakan: Makan dan minumlah dengan lezat, disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu." (Al-Haaqqah: 24)"
Setelah itu Abdullah bin Umar r.huma. menguji, "Kami ingin membeli seekor kambing, beritahukanlah kepada kami berapa harganya, dan terimalah uang dari kami. Kami mau menyembelihnya, dan engkau akan kami beri dagingnya, sehingga bisa bermanfaat pada waktu berbuka puasa." Ia berkata, "Ini bukan kambing-kambing saya, saya hanyalah seorang hamba sahaya, ini kambing tuan saya." Abdullah bin Umar r.huma. berkata, "Tuanmu tidak akan mengetahuinya, katakan saja bahwa kambing yang tidak ada itu telah dimakan oleh serigala." Penggembala itu sambil melihat ke arah langit berkata, "Lalu bagaimana dengan Allah swt. yang menguasai kita setiap saat?"
Abdullah bin Umar r.huma. sangat senang dengan jawaban penggembala tersebut, dan ia berkata kepada dirinya sendiri berulang kali dengan penuh kegembiraan perkataan penggembala yang sederhana itu: "Bagaimana dengan Allah yang menguasai kita setiap saat?"
Setelah peristiwa tersebut, Abdullah bin Umar r.huma. pulang ke kota dan menjumpai pemilik hamba sahaya berserta kambing-kambing itu untuk membeli kambing sekaligus hamba sahayanya, dan memerdekakannya. Kemudian Abdullah bin Umar memberikan kambing-kambing itu kepada hamba sahaya tersebut. ( Durrul-Mantsur ). Beginilah keadaan para penggembala pada waktu itu, mereka selalu berpikir bahwa Allah melihat mereka.



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-11

Kisah  Ke 11


Pada suatu ketika, Abdullah bin Ja'far r.huma. melewati sebuah kebun buah-buahan di Madinah Munawarah. Di kebun tersebut, penjaga kebunnya adalah seorang hamba sahaya dari Habasyah. Ketika itu, ia sedang memakan roti, dan di depannya ada seekor anjing yang sedang duduk. Jika ia memasukkan satu suap ke dalam mulutnya, ia juga melemparkan satu suap kepada anjing tersebut. Abdullah bin Ja'far r.huma. melihat kejadian tersebut dengan berdiri hingga hamba sahaya tersebut selesai makan roti. Kemudian Abdullah bin Ja'far r.huma. mendekatinya dan bertanya, "Kamu hamba sahaya milik siapa?" Ia menjawab, "Saya hamba sahaya milik ahli waris Utsman r.a." Abdullah bin Ja'far r.huma. berkata, "Aku melihat perbuatanmu yang aneh." Ia berkata, "Tuan, apa yang engkau lihat?" Abdullah bin Ja'far r.huma. menjawab, "Jika kamu makan satu suap, kemudian kamu juga memberi satu suap kepada anjing ini." Ia berkata, "Anjing ini telah menemani saya sejak beberapa tahun yang lalu, oleh karena itu saya harus memberikan bagian yang adil dari makanan saya." Abdullah bin Ja'far r.huma. berkata, "Untuk seekor anjing seperti ini makanan lebih rendah pun sudah cukup." Hamba sahaya itu berkata, "Saya sangat malu kepada Allah swt. jika saya makan sedangkan ada salah satu makhluk-Nya yang bernyawa berdiri di depan saya melihat diri saya dengan pandangan lapar." Setelah berbicara dengan hamba sahaya tersebut, Abdullah bin Ja'far r.huma. pulang ke rumah, kemudian pergi kepada ahli waris Utsman r.a.. Ia berkata, "Aku datang untuk memohon kebaikan kalian." Mereka berkata, "Katakanlah, apakah keperluanmu?" Ia berkata, "Juallah kebun kalian kepadaku." Mereka berkata, "Kami hadiahkan saja kepada engkau, terimalah kebun tersebut tanpa harus membayar harganya." Abdullah bin Ja'far r.huma. berkata, "Aku tidak akan mengambilnya tanpa memberikan harganya." Setelah ditentukan harganya, maka dilaksanakanlah jual beli tersebut. Kemudian Abdullah bin Ja'far r.huma. berkata, "Hamba sahaya yang bekerja di dalamnya juga mau aku beli." Tetapi mereka tidak mau menjualnya, mereka berkata, "Hamba sahaya itu kami pelihara sejak kecil, kami merasa keberatan berpisah dengannya." Tetapi karena Abdullah bin Ja'far r.huma. agak memaksa, mereka pun menjual budak itu kepadanya. Setelah selesai, Abdullah bin Ja'far r.huma. pergi ke kebun itu dan menemui hamba sahaya tersebut. Ia berkata, "Aku telah membelimu beserta kebun ini." Hamba sahaya itu menjawab, "Semoga Allah swt. memberkahi pembelianmu ini, akan tetapi saya juga sangat bersedih berpisah dengan tuan saya, karena mereka telah memelihara saya sejak kecil." Abdullah bin Ja'far r.huma. berkata, "Aku merdekakan kamu, dan kebun ini aku berikan kepadamu." Hamba sahaya itu berkata, "Kalau begitu, saksikanlah bahwa aku mewakafkan kebun ini untuk ahli waris Utsman r.a." Abdullah bin Ja'far r.huma. berkata, "Aku semakin takjub dengan peristiwa ini, dan aku mendoakan keberkahan untuknya, lalu aku pulang ke rumah." ( Sumber: Kitab Musammirat ) . Demikianlah kedermawanan yang telah dilakukan oleh hamba sahaya pendahulu kita.


Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-10

Kisah  Ke 10


Waqidi rah.a  menceritakan kisahnya, "Saya mempunyai dua orang teman, yang satu dari Bani Hasyim, dan yang lain bukan dari Bani Hasyim. Hubungan kami sangat akrab bagaikan satu badan dengan tiga hati. Ketika Hari Raya Idul Fitri hampir tiba, saya sedang dalam kesusahan. Istri saya berkata, 'Kita dapat bersabar dalam setiap keadaan. Akan tetapi, sebentar lagi hari raya akan datang, sehingga hati saya tidak tahan melihat anak-anak menangis. Hati saya seperti hancur apabila melihat anak-anak kita mengenakan pakaian yang usang dan compang-camping, sedangkan anak-anak tetangga berpakaian baru dan mengenakan perhiasan yang bagus untuk hari raya. Demi anak-anak, saya harus dapat mencari sesuatu dan membuatkan baju untuk mereka.' Begitu mendengar perkataan istri saya itu, saya menulis surat kepada teman saya yang berasal dari Bani Hasyim. Di dalamnya saya menulis tentang keadaan saya yang sebenarnya. Kemudian ia mengirimkan satu kantong berisi uang seribu dirham kepada saya dan menyuruh saya agar menggunakan uang tersebut untuk keperluan saya. Pada saat saya hampir menikmati pemberian hadiah yang sangat berharga tersebut, datanglah sepucuk surat dari teman saya yang lain. Dalam surat tersebut, ia menceritakan keadaannya yang sesungguhnya, dan ia meminta bantuan saya, sehingga saya mengirimkan uang seribu dirham itu kepadanya. Karena malu, saya tidak langsung pulang ke rumah, tetapi menginap di masjid selama dua hari berturut-turut. Kemudian, pada hari ketiga, pulanglah saya ke rumah, dan saya menceritakan semua kejadian tersebut kepada istri saya. Ternyata istri saya tidak marah dan tidak mengeluh, bahkan sangat senang dengan perbuatan saya itu, katanya, 'Engkau telah melakukan perbuatan yang terbaik.' Ketika kami sedang duduk berbincang-bincang, teman saya yang berasal dari Bani Hasyim datang dengan membawa kantong tersebut dan bertanya kepada saya, 'Katakanlah dengan sebenarnya kisah tentang kantong uang ini.' Saya pun menceritakan kisah yang sebenarnya. Setelah itu, teman saya yang berasal dari Bani Hasyim berkata, "Ketika suratmu datang, saya tidak mempunyai uang kecuali ini, yang kemudian saya kirimkan kantong uang ini kepadamu. Setelah itu, saya menulis surat kepada teman kita yang satu lagi. Sebagai jawaban, ia mengirimkan kantong ini kepada saya. Saya merasa heran, karena kantong ini saya kirimkan kepadamu, lalu bagaimana bisa sampai kepada teman kita yang satu lagi. Karena itu, saya datang untuk mengetahui persoalan yang sebenarnya.' Akhirnya, kami berikan uang seratus dirham dari uang tersebut kepada istri saya, dan yang sembilan ratus dirham kami bagi bertiga. Ketika kejadian ini terdengar oleh  Khalifah Makmun Ar-Rasyid, ia memanggil saya dan ingin mendengar semua kisahnya. Setelah mendengar kisah tersebut, Makmun Ar-Rasyid memberi saya uang tujuh ribu dirham. Kemudian, uang tersebut saya berikan kepada istri saya sejumlah seribu dirham, sedangkan yang enam ribu dirham kami bagi bertiga." ( Kitab Ithaf )



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-9

Kisah  Ke-9


Aban bin Utsman rah.a. berkata, "Pada suatu hari, seorang laki-laki merencanakan untuk mempermalukan dan mengganggu Abdullah bin Abbas r.huma. Untuk itu, ia mendatangi semua orang Quraisy dan mengatakan kepada mereka bahwa besok, Ibnu Abbas r.huma. mengundang mereka untuk makan bersama. Setelah memberitahukan undangan tersebut kepada semua orang, laki-laki tersebut menghilang. Pada keesokan harinya, ketika waktu makan telah tiba, berkumpullah orang banyak di rumah Abdullah bin Abbas r.huma. sehingga memenuhi rumahnya. Setelah diselidiki, barulah Abdullah bin Abbas r.huma. mengetahui kejadian yang sebenarnya. Abdullah bin Abbas r.huma. mempersilakan mereka semua untuk duduk dan menyuruh seseorang untuk membeli satu keranjang buah-buahan. Kemudian, ia meletakkan keranjang yang penuh berisi buah-buahan itu di hadapan mereka dan mempersilakan mereka memakannya. Ketika para tamu sedang berbincang-bincang, ia menyuruh tukang masak untuk menyiapkan makanan. Sebelum mereka menghabiskan buah-buahan, makanan telah siap. Semua orang yang hadir melahap makanan yang dihidangkan Abdullah bin Abbas r.huma. sampai kenyang. Setelah itu, Abdullah bin Abbas r.huma. bertanya kepada bendaharanya, "Mungkinkah kita memberi jamuan seperti ini setiap hari?" Bendaharanya menjawab, "Ya, mungkin saja." Abdullah bin Abbas r.huma. berkata, "Panggillah semua orang itu setiap hari pada waktu pagi untuk makan pagi di sini." ( Kitab Ithaf )

Peristiwa tersebut terjadi ketika para sahabat r.hum. telah menaklukkan dunia secara berurutan, dan kekayaan mengalir kepada mereka. Tetapi para sahabat r.hum. sangat dermawan. Mereka membelanjakan harta mereka dengan murah hati, sehingga mereka tidak menyisakan apa pun untuk diri mereka sendiri. Dalam masalah keuangan, uang mereka cepat habis sebagaimana kantong yang penuh dengan air yang cepat habis. Karena, jika mereka mempunyai uang dalam jumlah yang banyak, mereka segera membelanjakan semuanya tanpa menyisakan sedikit pun untuk diri mereka sendiri. Mereka tidak terbiasa mengumpulkan uang, dan tidak terbiasa menyimpan uang untuk diri mereka.


Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-7 & 8

Kisah  Ke 7

Seseorang telah datang kepada Abdullah bin Ja'far r.huma. dan membaca dua bait syair:
Kebaikan dan perbuatan baik akan menjadi suatu kebaikan bila diberikan kepada orang yang patut menerimanya
Berbuat baik kepada orang- orang yang bodoh tidaklah patut
Seandainya ingin berbuat baik kepada seseorang, hendaknya ikhlas semata-mata karena Allah swt. (sehingga dapat berbuat baik kepada sesama, bahkan orang-orang kafir maupun hewan-hewan pun pantas untuk menerimanya).
Atau engkau berbuat baik kepada keluargamu ( karena hak kekerabatan mempunyai kedudukan yang lebih utama sebagai orang yang berhak atas pemberianmu ).
Dan jika kedua masalah ini tidak didapatkan, maka janganlah kamu berbuat baik kepada orang-orang yang bodoh, yang tidak pantas menerima pemberianmu.
Di dalam syair ini, kata-kata tersebut ditujukan kepada Abdullah bin Ja'far r.huma. karena kedermawanannya laksana hujan yang menyirami orang yang memerlukan dan yang tidak memerlukan. Setelah mendengar syair ini, Abdullah bin Ja'far r.huma. berkata, "Syair ini membuat orang menjadi bakhil. Aku lebih suka mencurahkan kebaikan-kebaikanku kepada siapa saja laksana hujan yang mencurahi semuanya. Jika sedekahku sampai kepada orang yang mulia dan patut untuk menerimanya, maka yang demikian itu lebih baik dan bagus, karena mereka berhak menerimanya. Dan jika sedekahku diterima oleh orang yang tidak berhak menerimanya, maka aku menyalahkan diriku sendiri karena memiliki uang yang hanya layak untuk diberikan kepada orang yang tidak pantas dan tidak bersyukur." ( Kitab Ihya” )
Kata-kata tersebut diucapkan oleh Abdullah r.a. dengan penuh tawadhu'. Ia merasa bahwa hartanya tidak bernilai dan hanya layak untuk orang-orang yang tidak pantas saja.


Kisah  Ke 8


Pada suatu ketika, Munkadir rah.a. datang kepada Aisyah r.ha. untuk mengutarakan keperluannya yang sangat mendesak, yakni untuk meminta bantuan dalam masalah keuangan. Aisyah r.ha. berkata, "Maaf, pada saat ini saya tidak mempunyai apa-apa. Seandainya saya mempunyai sepuluh ribu dirham, semuanya tentu akan saya berikan kepadamu. Akan tetapi sekarang ini saya tidak mempunyai apa-apa." Kemudian Munkadir rah.a. pulang. Tetapi tidak lama kemudian, datanglah Khalid bin Asad r.a. memberi hadiah uang sebesar sepuluh ribu dinar atau dirham kepada Aisyah r.ha.. Aisyah r.ha. berkata, "Saya sedang diuji dengan ucapan saya kepada Munkadir." Kemudian ia segera mengirimkan seluruh uang yang diterimanya itu kepada Munkadir rah.a.. Dengan seribu dirham uang pemberian Aisyah r.ha. itu, Munkadir rah.a. membeli seorang hamba sahaya perempuan yang kemudian dinikahinya. Dari pernikahannya, ia mendapatkan tiga orang anak, yakni Muhammad, Abu Bakar, dan Umar. Ketiga orang tersebut terkenal keshalihannya di kota Madinah Munawwarah. ( Kitab Tahdzibut-Tahdzib ). Sudah barang tentu Aisyah r.ha. memperoleh bagian segala keutamaan dari ketiga anak tersebut. Dialah penyebab lahirnya ketiga anak itu. Kisah kedermawanan Aisyah r.ha. banyak sekali diceritakan, sebagaimana kisah kedermawanan ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. yang sangat terkenal. Kami telah menceritakan sebuah kisah dalam kitab Hikayatush-Shahabah, di mana ia telah membagi-bagikan dua kantong penuh berisi uang, yang berjumlah lebih dari seratus ribu dirham untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin tanpa meninggalkan satu dirham pun, padahal ia memerlukannya untuk berbuka puasa. Kisah semacam ini juga terdapat dalam riwayat lain yang menyebutkan besarnya uang dalam kantong yang diberikan kepada fakir miskin sebesar 180.000 dirham. Tamim bin Urwah r.a. berkata, "Pada suatu ketika, saya melihat Aisyah r.ha., bibi ayah saya, membagi-bagikan uang sebanyak 70.000 dirham, padahal pada saat itu ia mengenakan pakaian yang bertambal." ( Kitab Ithaf )


Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-5 & 6

Kisah Ke 5

Pada suatu hari ( kemungkinan besar pada waktu malam ), Abdullah bin Amir bin Kuraiz r.a., saudara sepupu Ustman r.a. keluar dari dalam masjid untuk pulang ke rumahnya sendirian. Di perjalanan, ia bertemu dengan seorang pemuda. Lalu pemuda itu berjalan bersamanya. Abdullah bin Amir r.a. bertanya, "Apakah engkau ingin mengutarakan sesuatu?" Pemuda itu menjawab, "Saya berharap agar engkau selamat sampai tujuan. Saya lihat engkau berjalan sendirian pada saat-saat seperti ini. Saya khawatir akan terjadi suatu bencana yang menimpamu dalam keadaan sendiri seperti ini. Karena itu, saya berjalan bersama engkau untuk menjaga keselamatanmu, kalau-kalau di jalan nanti ada kejadian yang tidak menyenangkan hati." Abdullah bin Amir r.a. memegang lengan pemuda itu dan membawanya ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia memberi pemuda itu seribu dinar sambil berkata, "Gunakanlah untuk keperluan-keperluanmu. Sesungguhnya orang tuamu telah mendidikmu dengan baik." ( Kitab Ihya" )



Kisah  Ke-6


Abdullah bin Abbas r.huma. berkata, "Di rumah seseorang ada sebatang pohon kurma. Ujung pohon kurma tersebut condong di atas rumah tetangganya yang fakir. Ketika orang itu memanjat pohon kurma untuk memetik buahnya, maka pohon kurma tersebut bergoyang-goyang dan beberapa buah kurma yang telah masak berjatuhan di pekarangan rumah tetangganya itu. Kemudian buah kurma yang terjatuh tersebut diambil oleh anak-anak tetangganya yang miskin tersebut. Setelah selesai memetik buah kurma, orang tersebut turun, kemudian pergi menuju rumah tetangganya, lalu merampas kurma-kurma yang berada di dalam genggaman anak-anak tetangganya itu, bahkan buah kurma yang sudah dimakan pun dikeluarkan dengan cara memasukkan jari ke dalam mulutnya. Orang miskin itu menghadap Rasulullah saw. dan mengadukan hal itu kepada beliau saw.. Setelah Rasulullah saw. mendengarkannya, beliau saw. bersabda, "Baiklah, sekarang pulanglah kamu." Setelah itu, Rasulullah saw. berkata kepada pemilik kurma, "Maukah kamu memberikan pohon kurmamu yang condong di atas rumah si Fulan kepadaku dengan jaminan, sebagai gantinya kamu akan memperoleh satu pohon kurma di surga?" Orang itu menjawab, "Ya Rasulullah, banyak orang yang mau membelinya, dan saya pun masih mempunyai banyak pohon kurma, tetapi saya sangat suka dengan pohon kurma yang satu ini." Setelah berbicara demikian, ia meminta maaf karena tidak bisa memberikannya. Mendengar jawaban tersebut, Rasulullah saw. diam saja. Ketika itu, ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan tersebut. Setelah pemilik pohon kurma itu pergi, orang itu berkata kepada Rasulullah saw., "Seandainya saya menyerahkan pohon kurma itu, apakah saya juga mendapatkan apa yang engkau janjikan kepada pemilik kurma itu, yakni memperoleh pohon kurma di surga?" Rasulullah saw. menjawab, "Ya, bagimu juga janji seperti itu." Orang itu bangkit dan pergi menemui pemilik pohon kurma itu dan berkata, "Saya mempunyai kebun kurma, dan engkau dapat menjual pohon kurmamu itu dengan harga berapa saja. Pemilik pohon kurma itu berkata, "Rasulullah saw. telah menjanjikan untuk saya satu batang pohon kurma di surga apabila saya mau menyerahkan pohon kurma ini kepada beliau. Dengan janji itu saya tetap tidak memberikannya, karena pohon kurma ini sangat saya sukai. Saya mau menjualnya, akan tetapi tidak ada yang mau membeli dengan harga yang saya inginkan." Orang itu bertanya, "Berapa harga yang engkau inginkan?" Pemilik pohon kurma itu menjawab, "Saya menjualnya dengan harga 40 batang pohon kurma." Orang itu berkata, "Satu batang pohon kurma yang bengkok dijual seharga 40 batang pohon kurma, betapa mahalnya. Tetapi baiklah, seandainya saya bersedia membeli dengan harga tersebut, apakah engkau mau menjualnya?" Pemilik pohon kurma itu berkata, "Jika benar ucapanmu, bersumpahlah bahwa engkau akan memberikan 40 pohon kurma untuk menggantikan satu pohon kurma saya." Kemudian orang itu bersumpah bahwa ia telah memberikan 40 pohon kurma sebagai ganti satu pohon kurma yang bengkok tersebut.
Setelah kejadian tersebut, pemilik pohon kurma itu kembali dan berkata, "Saya tidak akan menjual pohon kurma saya ini." Orang itu berkata, "Engkau tidak mungkin mengingkari janjimu karena saya juga telah bersumpah." Pemilik pohon kurma itu berkata, "Baiklah, tetapi dengan syarat semua pohon itu berada di satu tempat." Setelah berpikir sejenak, orang itupun menjanjikan bahwa semua pohon tersebut berada dalam satu tempat. Setelah menguatkan akad jual beli, orang itu datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah membeli pohon kurma itu untuk saya berikan kepada engkau." Rasulullah saw. pun pergi ke rumah orang fakir tersebut dan menyerahkan seluruh pohon kurma yang diterimanya kepada orang fakir tersebut. Setelah peristiwa ini, maka turunlah surat Al-Lail. ( Kitab Durrul-Manstur ).



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-3 & 4

Kisah Ke-3

Suatu ketika, beberapa orang Qari' ( hafizh-hafizh Al-Qur'an )  dari Bashrah datang kepada Abdullah bin Abbas r.huma., dan mereka berkata, "Tetangga kami adalah orang yang shalih. Ia banyak berpuasa dan selalu sibuk mengerjakan shalat Tahajjud. Melihat ibadahnya, setiap orang di antara kami merasa iri dan berangan-angan dapat beribadah seperti yang dilakukannya. Ia telah menikahkan putrinya dengan keponakannya, akan tetapi ia tidak mempunyai biaya untuk keperluan walimahnya." Kemudian Ibnu Abbas r.huma. membawa orang-orang itu ke rumahnya. Ia membuka sebuah kotak dan mengeluarkan dari dalamnya enam kantong uang untuk diberikan kepada orang-orang itu agar disampaikan kepada orang miskin ahli ibadah tersebut. Ketika orang-orang itu hendak pergi dengan membawa enam kantong berisi uang tersebut, Ibnu Abbas r.huma. berkata kepada mereka, "Tunggu. Saya kira, ini bukanlah cara yang baik untuk menolongnya. Apabila kita memberikan uang ini kepadanya, ia akan sibuk mempersiapkan pernikahan sehingga banyak waktunya yang berharga terbuang untuk berbelanja, dan ibadahnya akan terganggu. Harta ini sangat tidak bernilai untuk menyita perhatian orang shalih seperti dia. Sebaiknya, marilah kita persiapkan pernikahan tersebut. Belilah barang-barang untuk keperluannya, kemudian berikanlah semua itu kepadanya." Mereka pun setuju dengan usul tersebut. Mereka membeli semua keperluannya, kemudian memberikannya kepada orang shalih tersebut. (Ihya").


Kisah  Ke 4

Abul-Hasan Madani rah.a. berkata, "Ketika Hasan r.a., Husain r.a., dan Abdullah bin Ja'far r.a. sedang melakukan perjalanan untuk melakukan ibadah haji, di perjalanan, unta yang membawa perbekalan mereka telah terpisah dengan mereka. Maka mereka melanjutkan perjalanan dalam keadaan lapar dan haus. Pada saat mereka melewati sebuah kemah, di dalamnya terlihat seorang wanita tua. Mereka bertanya kepada wanita itu, "Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk kami minum?" la menjawab, "Ya, ada." Maka turunlah mereka dari unta mereka. Wanita tua itu memiliki seekor kambing betina yang sangat kecil. Dengan menunjuk ke arah kambing itu, ia berkata, "Perahlah susunya kemudian minumlah sedikit-sedikit. Mereka pun memerah susunya, kemudian meminumnya. Kemudian mereka bertanya, "Adakah sesuatu untuk dimakan?" Wanita tua itu berkata, "Silakan salah seorang di antara kalian menyembelihnya. Aku akan memasakkannya." Maka salah seorang di antara mereka menyembelihnya, dan wanita tua itu memasaknya. Setelah mereka makan dan minum, pada sore harinya ketika mereka mau melanjutkan perjalanan, mereka berkata, "Kami adalah orang-orang dari Bani Hasyim. Sekarang ini kami sedang melakukan safar untuk ibadah haji. Jika kami selamat sampai ke Madinah, datanglah kepada kami, kami akan membalas kemurahan hatimu. Setelah berkata demikian, pergilah mereka. Pada sore harinya, ketika suami wanita itu datang, wanita tua kemudian menceritakan kisah orang-orang dari Bani Hasyim tersebut. Mendengar penuturan istrinya itu, suaminya sangat marah dan berkata, "Engkau telah menyembelih kambing untuk orang asing yang tidak dikenal." Istrinya menjawab, "Mereka dari Bani Hasyim." Ringkas cerita, setelah suaminya marah-marah, ia terdiam. Beberapa lama kemudian, ketika kedua suami istri tersebut didera kemiskinan, keduanya pergi ke Madinah untuk bekerja sebagai buruh. Sepanjang hari, mereka mengambil kotoran hewan dan mengeringkannya, lalu menjualnya untuk mempertahankan hidup. Pada suatu hari, ketika wanita tua itu sedang memunguti kotoran binatang, Hasan r.a. tengah duduk di depan rumahnya. Ketika wanita tua tersebut lewat, Hasan r.a. melihatnya dan mengenalinya. Kemudian Hasan r.a. menyuruh hamba sahayanya untuk memanggil wanita tua itu. Sesampainya di hadapan Hasan r.a., ia bertanya, "Wahai hamba Allah, apakah engkau mengenaliku?" Ia menjawab, "Aku tidak mengenali engkau." Hasan r.a. berkata, "Aku adalah tamumu yang pernah meminum susu kambing dan memakan dagingnya. Wanita tua itu tetap merasa belum kenal. Tetapi sejurus kemudian ia berkata, "Demi Allah, engkaukah tamuku itu?" Hasan r.a. berkata, "Ya, akulah tamumu." Dan setelah berbicara seperti itu, Hasan r.a. menyuruh hamba sahayanya membeli kambing sebanyak seribu ekor untuk diberikan kepada wanita tua tersebut. Di samping memberi seribu kambing, Hasan r.a. juga memberinya seribu dinar. Lalu Hasan r.a. menyuruh hamba sahayanya untuk membawa wanita tua itu menemui adiknya, Husain r.a.. Husain r.a. bertanya, "Balasan apa yang diberikan oleh kakakku, Hasan?" Ia menjawab, "Seribu ekor kambing dan seribu dinar." Setelah mendengar jawaban itu, Husain r.a. juga menyerahkan pemberian yang sama sebagaimana yang diberikan oleh kakaknya. Setelah itu, ia diantar kepada Abdullah bin Ja'far r.a.. Ia pun menyelidiki apa yang telah diberikan oleh kedua cucu Rasulullah saw. tersebut, dan setelah mengetahuinya, ia memberikan kepada wanita tua itu dua ribu kambing dan dua ribu dinar, dan ia berkata, "Jika engkau datang kepadaku terlebih dahulu, aku akan memberimu lebih dari ini. Lalu wanita tua itu menyerahkan empat ribu ekor kambing dan empat ribu dinar kepada suaminya sambil berkata, "Ini adalah ganti dari kambing kita yang lemah itu." ( Kitab Ihya” ).

Note  : Adakah hari ini orang Islam yang penuh kasih sayang dan dermawan seperti tiga orang sahabat ini ?? Yang ada sekarang adalah orang Islam yang kalo bersedekah, namanya ingin dikenal. Lalu  kadang2 setelah memberi, di kemudian hari mengungkit-ungkit lagi pemberiannya itu atau menyakiti hati si penerima. Atau jangankan memberi, memberi pinjaman saja amat berat hati.




Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 7 Kisah Para Ahli Zuhud dan Dermawan. Kisah ke-2

Kisah  Ke-2


Ketika seseorang datang kepada Hasan r.a. untuk meminta bantuan sambil menyebutkan keperluan-keperluannya, Hasan r.a. berkata, "Karena permintaanmu, hak yang telah tertegak di atasku sangatlah tinggi dalam pandanganku. Dan bantuan yang harus aku berikan menurutku merupakan jumlah yang besar. Sedangkan keadaan harta bendaku tidak mencukupi untuk jumlah yang sesuai dengan kedudukanmu. Dan seberapa saja yang dibelanjakan oleh seseorang di jalan Allah swt. sangat sedikit (jika dibandingkan dengan karunia Allah). Akan tetapi apa boleh buat, aku tidak mempunyai sejumlah uang yang bisa menunaikan rasa syukur atas permintaanmu itu. Jika engkau mau, terimalah dengan senang hati apa yang ada padaku dan jangan engkau memaksaku untuk mencari kadar yang sesuai dengan martabatmu dan hakmu yang telah menjadi kewajibanku. Jika engkau menerima syarat ini, aku akan senang." Peminta-minta itu berkata, "Wahai putra Rasulullah, apa saja yang engkau berikan kepadaku aku terima, dan aku bersyukur atasnya. Dan aku maafkan engkau karena tidak memberi yang lebih dari itu." Atas jawaban peminta-minta itu, Hasan r.a. berkata kepada bendaharanya, "Bawalah sisa dari 300.000 dirham (yang dititipkan kepadanya). Maka bendahara membawakan lima puluh ribu dirham (karena yang lainnya sudah dibelanjakan di jalan Allah swt). Hasan r.a. berkata, "Aku juga ingat telah memberimu lima ratus dinar." Bendahara berkata, " Dinar tersebut masih ada." Hasan r.a. berkata, "Kalau begitu bawalah kemari!" Ketika semuanya telah diserahkan kepada Hasan r.a., ia berkata kepada peminta-minta, "Bawalah kemari kuli untuk membawa harta ini sampai ke rumahmu." Peminta-minta itu datang membawa dua orang kuli. Hasan r.a. menyerahkan semuanya kepada dua orang kuli tersebut, serta melepaskan kain dari badannya untuk diberikan kepada peminta-minta itu. Hasan r.a. berkata, "Upah kuli-kuli itu tanggung jawab saya. Karena itu, juallah kain saya ini, dan berikanlah hasil penjualannya sebagai upah untuk kedua kuli ini. Hamba-hamba sahaya Hasan r.a. berkata, "Sekarang satu dirham pun tidak tersisa untuk keperluan makan minum kita. Engkau telah memberikan semuanya. Hasan r.a. berkata, "Aku sangat berharap kepada Allah swt. bahwa Dia akan memberiku pahala yang sangat banyak dengan limpahan karunia-Nya."
Setelah Hasan r.a. memberikan semua yang dimilikinya hingga tidak tersisa sedikit pun, dan meskipun jumlah yang diberikannya begitu banyaknya, ia tetap merasa sedih dan menyesal tidak dapat menunaikan hak orang yang meminta itu.



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Kamis, 07 Oktober 2010

Bab 6 Anjuran Zuhud, Qan'ah dan Tidak Meminta-minta. Hadits ke-2

Hadits ke-2

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang meminta-minta untuk memperbanyak hartanya, sesungguhnya ia sedang meminta bara api neraka. Maka siapa yang menginginkannya, mintalah sedikit atau banyak. ( H.R. Muslim, Misykat ).

Keterangan
Di dalam hadits pertama hanya disebutkan tentang ancaman tertutupnya pertolongan ghaib dari Allah swt., karena di dalam hadits tersebut disebutkan meminta-minta untuk suatu keperluan. Sedangkan dalam hadits ini tanpa keperluan, hanya untuk memperbanyak hartanya, ia meminta-minta. Karena itu, di sini disebutkan ancaman yang lebih keras, yaitu ia sedang mengumpulkan bara api neraka. Sekarang, setiap orang bebas untuk mengumpulkan bara api sebanyak yang diinginkannya.

Umar r.a. pernah berkata kepada Rasulullah saw., "Si Fulan dan si Fulan telah memuji engkau karena engkau telah memberi mereka dua dirham." Rasulullah saw. bersabda, "Aku memberi kepada si Fulan sepuluh sampai seratus dinar, tetapi ia tidak berbuat seperti itu. Karena permintaannya itu, apa yang aku berikan kepadanya ia bawa pergi dengan diletakkan di bawah ketiaknya, padahal sebenarnya ia mengapit bara api neraka." Umar r.a. bertanya, "Ya Rasulullah, lalu mengapa engkau memberinya?" Rasulullah saw. menjawab, "Apa yang harus aku lakukan, karena tanpa meminta-minta, ia tidak bisa tinggal diam, sedangkan Allah swt. tidak suka aku berbuat kikir." Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Umar r.a. bertanya, "Ya Rasulullah, jika engkau mengetahui bahwa itu adalah api, mengapa engkau memberikannya?" Rasulullah saw. menjawab, "Apa yang harus aku lakukan, sedangkan ia tidak bisa tinggal diam tanpa meminta-minta, dan Allah swt. tidak menyukai aku berbuat kikir."

Qabisah r.a. berkata, "Saya menanggung satu beban, yakni saya menjamin untuk memberikan sesuatu. Maka saya datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta bantuan. Rasulullah saw. bersabda, "Tunggulah, nanti jika ada harta sedekah datang dari seseorang, aku akan membantumu.' Setelah itu Rasulullah saw. bersabda, 'Wahai Qabisah, meminta-minta hanya diperbolehkan bagi tiga orang: Pertama, orang yang menanggung beban jaminan diperbolehkan baginya meminta-minta sampai kadar yang diperlukan, dan setelah itu hendaknya ia berhenti dari meminta-minta, ia tidak mempunyai hak untuk meminta-minta lebih dari itu. Kedua, orang yang ditimpa kecelakaan sehingga semua hartanya binasa ( misalnya terbakar atau tertimpa bencana yang lain, yang menyebabkan semua hartanya musnah), maka ia diperbolehkan meminta-minta sekadar untuk menopang keperluan hidupnya. Ketiga, orang yang kelaparan sehingga tiga orang dari kaumnya mengatakan bahwa ia kelaparan, maka ia diperbolehkan meminta-minta sekadar untuk menopang hidupnya. Selain tiga orang ini, siapa saja yang meminta-minta, berarti ia memakan barang haram.'"

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa meminta-minta tidak diperbolehkan bagi dua orang. Pertama bagi orang kaya. Kedua bagi orang yang sehat dan kuat ( yang mampu bekerja ). Adapun bagi orang yang mempunyai utang yang menyusahkannya, atau kefakiran yang menghinakannya, diperbolehkan baginya meminta-minta. Barangsiapa yang meminta-minta dengan tujuan untuk menambah kekayaannya, pada hari Kiamat wajahnya akan terluka dan ia akan memakan api neraka. Siapa menginginkannya silakan meminta banyak, dan siapa yang menginginkannya silakan meminta sedikit.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pada hari Kiamat, perbuatan meminta-minta akan menjadi luka di wajahnya. Siapa yang menginginkannya, biarlah wajahnya bercahaya, dan siapa yang menginginkannya, biarlah cahaya wajahnya menghilang. Sedangkan jika meminta kepada raja ( yakni dari baitul-mal, dengan syarat ia berhak menerima sebagian harta dari baitul-mal ), atau karena terpaksa, maka tidaklah mengapa. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang selalu meminta-minta, pada hari Kiamat tidak akan tersisa daging sedikit pun di wajahnya.
Mas'ud bin Amr r.a. berkata bahwa suatu ketika, jenazah seseorang dibawa di hadapan Rasulullah saw. untuk dishalati. Rasulullah saw. bersabda, "Apa yang ditinggalkannya?" Orang-orang berkata, "Ia meninggalkan dua atau tiga dinar." Rasulullah saw. bersabda, "Ia meninggalkan dua atau tiga bara api neraka." Perawi hadits berkata, "Saya bertanya kepada Abdullah bin Qasim r.a., hamba sahaya Abu Bakar r.a., mengenai orang yang meninggal dunia itu." Ia menjawab, "Ia selalu meminta-minta untuk menambah kekayaannya."

Beberapa kisah semacam ini disebutkan dalam kitab-kitab hadits. Di dalamnya, Rasulullah saw. mengancam bahwa ia akan diselar dengan api neraka atau adzab yang sejenisnya, karena meninggalkan sedikit uang. Mengenai masalah ini para ulama menulis bahwa hal ini akan terjadi jika seseorang sebelumnya sudah mempunyai harta dan ia berbohong, dan ia menampakkan dirinya sebagai orang fakir dan menggolongkan dirinya sebagai orang fakir.
Imam Ghazali rah.a. berkata, "Banyak riwayat yang melarang meminta-minta, dan di dalam hadits terdapat ancaman yang keras agar tidak meminta-minta, akan tetapi sebagian hadits menyebutkan bahwa meminta-minta dibolehkan. Maka penjelasannya adalah bahwa meminta-minta pada dasarnya diharamkan, akan tetapi pada waktu terjepit atau dalam keadaan darurat, meminta-minta diperbolehkan. Sebab diharamkannya meminta-minta adalah karena adanya tiga perkara, dan ketiga perkara itu merupakan perkara yang diharamkan. Pertama, dengan meminta-minta menunjukkan bahwa ia berkeluh-kesah seakan-akan nikmat Allah swt. masih kurang. Misalnya, seandainya seorang hamba sahaya meminta-minta kepada orang lain, berarti ia menganggap bahwa pemberian dari tuannya sangat sedikit dan tidak mencukupi. Oleh karena itu, jika tidak benar-benar terpaksa, meminta-minta tidaklah halal, sebagaimana memakan bangkai itu dihalalkan dalam keadaan sangat terpaksa. Kedua, dengan meminta-minta berarti orang yang meminta-minta telah menghinakan dirinya kepada selain Allah swt., sedangkan sifat seorang mukmin tidaklah menghinakan dirinya di hadapan siapa pun selain di hadapan Allah swt.. Adapun menghinakan diri di hadapan Allah Yang Mahasuci merupakan kemuliaan bagi kita, karena menghinakan diri di hadapan Sang Kekasih adalah kelezatan, dan menampakkan ketidakmampuan di hadapan tuan adalah keberuntungan. Ketiga, seringkali orang yang dimintai merasa dirinya dalam posisi yang sulit. Kadang-kadang, orang yang memberi tidak memberi dengan suka rela, tetapi hanya karena malu atau karena sebab lainnya. Jika ia memberi karena malu atau riya', maka harta itu pun haram bagi orang yang meminta. Jika ia menolak, kadang-kadang ia akan bersedih karena khawatir dianggap sebagai orang yang bakhil. Dengan demikian memang terdapat kemungkinan bahwa orang yang dimintai berada dalam posisi yang sulit, yang disebabkan oleh orang yang meminta-minta, sedangkan menyakiti seseorang merupakan perbuatan yang haram. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah saw. mengancam dengan keras terhadap orang yang meminta-minta. Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang meminta-minta kepada kita, kita harus memberinya (karena ia sendirilah yang bertanggung jawab terhadap perbuatannya meminta-minta itu). Barang siapa merasa kaya (yakni tidak meminta-minta atau hanya meminta kekayaan dari Allah swt.) maka Allah swt. akan memberikan kekayaan kepadanya. Dan barang siapa yang tidak meminta kepadaku, ia lebih aku cintai daripada orang yang meminta-minta."

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hendaknya kalian merasa kaya dari manusia, dan semakin sedikit kamu meminta-minta, akan semakin baik bagimu." Ketika Umar r.a. melihat seorang pengemis yang meminta-minta setelah Maghrib, ia menyuruh seseorang untuk memberikan makanan kepada pengemis itu. Maka orang yang disuruh pun segera mengerjakan perintahnya dan memberi makan kepada pengemis itu. Setelah itu, Umar r.a. mendengar lagi suara pengemis itu meminta-minta. Maka ia bertanya kepada sahabat yang ia suruh tadi, “Bukankah saya telah menyuruhmu untuk memberi makan pengemis itu?" Sahabat r.a. itu pun menjawab, "Saya telah memberinya makan." Kemudian ketika Umar r.a. melihat pengemis tadi, terlihatlah di ketiaknya sebuah kantong yang berisi banyak roti. Lalu Umar r.a. berkata, "Kamu bukan pengemis, tetapi pedagang. Kamu bukan seorang fakir, tetapi meminta-minta untuk dijual. Setelah terkumpul roti itu, lalu kamu menjualnya." Setelah berkata demikian itu, Umar r.a. merampas kantongnya, dan roti itu diberikan kepada unta-unta sedekah, kemudian ia memukul pengemis itu dengan tongkat lalu berkata, "Jangan kamu ulangi lagi perbuatanmu ini."
Imam Ghazali rah.a. berkata, "Jika meminta-minta tidak diharamkan, maka Umar r.a. tidak akan memukulnya dan tidak akan merampas roti yang dibawanya." Sebagian ulama menyangkal perkataan Imam Ghazali rah.a. di atas. Mereka berpendapat bahwa Umar r.a. memukul pengemis itu bisa saja sebagai pelajaran dan peringatan, karena merampas rotinya tersebut merupakan perbuatan zhalim. Syariat tidak menetapkan perampasan harta sebagai hukuman. Sangkalan itu pada hakikatnya karena ketidaktahuan mereka. Siapakah yang bisa menandingi Umar r.a. dalam kepahamannya mengenai hukum-hukum syariat? Apakah kita menganggap bahwa Umar r.a. tidak mengetahui bahwa mengambil harta orang lain tidak dibolehkan? Dan mungkinkah kita beranggapan bahwa meskipun ia mengetahuinya, ia telah melakukan perbuatan yang haram karena kemarahannya terhadap perbuatan peminta-minta itu. Na'udzubillah, mungkinkah Umar r.a. melakukan tindakan tersebut karena kemarahannya, dan mungkinkah ia memilih jalan yang tidak dibenarkan oleh syariat untuk menghentikan perbuatan meminta-minta pada masa yang akan datang. Kalau tujuannya seperti itu, maka perbuatan itu tidak diperbolehkan. Akan tetapi permasalahannya adalah, jika pengemis itu meminta-minta dan si pemberi memberikannya dengan anggapan bahwa ia adalah seorang fakir dan miskin, maka harta ini tidak menjadi milik penerima, karena ia dapatkan dengan menipu. Karena sulit untuk mengetahui pemberinya, maka roti tersebut sama hukumnya dengan barang temuan yang tidak diketahui pemiliknya. Karena itu penggunaannya adalah untuk kemaslahatan umum. Karena itulah Umar r.a. memberikan roti tersebut untuk dimakan unta-unta sedekah. Orang fakir yang meminta-minta ini sama halnya dengan seorang pendosa yang menyatakan dirinya sebagai seorang sufi untuk mengambil harta sedekah. Jika si pemberi mengetahui keadaannya yang sebenarnya, ia tentu tidak akan memberinya. Maka orang seperti ini tidak boleh mengambil harta sedekah, ia harus mengembalikannya kepada pemiliknya.
Telah diketahui bahwa meminta-minta hanya diperbolehkan jika seseorang dalam keadaan terpaksa. Terpaksa meliputi empat keadaan, yang pertama dalam keadaan darurat. Kedua dalam keadaan sangat berhajat, namun belum sampai pada taraf darurat. Ketiga, dalam keadaan berhajat. Keempat, dalam keadaan tidak berhajat.
Contoh keadaan pertama ialah seseorang yang sedang kelaparan, sakit parah yang hampir meninggal dunia, dan orang yang telanjang tidak mempunyai pakaian sedikit pun untuk menutupi auratnya. Orang-orang yang dalam keadaan seperti ini diperbolehkan meminta-minta dengan beberapa syarat sebagai berikut: (1) Benda yang diminta adalah benda yang halal. (2) Orang yang dimintai rela memberikannya. (3) Orang yang meminta-minta benar-benar tidak mampu bekerja.
Apabila seseorang mampu bekerja, namun ia meminta-minta, maka ia termasuk orang yang sia-sia. Lain halnya dengan seseorang yang sedang menuntut ilmu. Karena kesibukannya dalam menuntut ilmu, maka ia diperbolehkan meminta, meskipun ia mampu.
Keadaan keempat adalah kebalikan dari keadaan pertama. Seseorang yang masih mempunyai sesuatu, tetapi ia meminta sesuatu, maka haram hukumnya. Sebagai contoh adalah orang yang meminta baju, padahal ia masih mempunyai baju ( meskipun sekadar menutupi auratnya ). Dua keadaan di atas berlawanan, dan di antara keduanya ada dua keadaan, yakni hajat yang sangat mendesak, tetapi tidak sampai pada taraf darurat, dan memiliki hajat, tetapi tidak mendesak.
a. Hajat yang sangat mendesak.
Keadaan yang dikategorikan hajat yang sangat mendesak adalah ketika seseorang sedang sakit dan ia memerlukan uang untuk membeli obat, tetapi penyakitnya bukan penyakit yang membahayakan. Demikian pula seseorang yang berada dalam keadaan sangat kedinginan. Meskipun ia telah mengenakan baju sekadar untuk menutupi auratnya, karena cuaca yang sangat dingin, ia sangat memerlukan baju yang tebal untuk melindungi dirinya. Dalam keadaan seperti ini, orang tersebut diperbolehkan meminta dengan syarat tidak meminta melebihi keperluannya. Akan tetapi, apabila ia tidak meminta, maka yang demikian itu tentu lebih utama. Memang, meminta dalam kedaan seperti ini tidak dapat dikatakan haram atau makruh, namun disebut khilaful-aula ( bertentangan dengan yang utama ). Dan disyaratkan pula agar ia menjelaskan mengapa ia meminta-minta.
b. Hajat yang tidak mendesak.
Contohnya adalah orang yang sudah mempunyai nasi atau roti, tetapi tidak mempunyai lauk, atau orang yang mempunyai baju yang sudah compang-camping. Orang ini memerlukan baju yang baik untuk dikenakan ketika keluar rumah, sehingga tidak kelihatan bahwa dirinya adalah seorang yang miskin. Dalam keadaan seperti ini, ia diperbolehkan meminta, namun makruh hukumnya. Ia diperbolehkan meminta dengan syarat sebatas yang diperlukannya. Syarat yang lain adalah: (1) Tidak meremehkan Allah swt. (2) Tidak menghinakan dirinya. (3) Orang yang diminta tidak merasa berat (tidak ikhlas).
Bagaimanakah seandainya di dalam dirinya tidak terdapat salah satu dari ketiga syarat di atas? Sudah disebutkan bahwa orang yang tidak meremehkan Allah swt. adalah orang yang selalu bersyukur kepada Allah swt. tanpa menunjukkan keperluannya. Janganlah meminta sebagaimana orang fakir meminta. Contohnya adalah sekadar untuk mencukupi keperluannya, dan ia sangat bersyukur kepada Allah swt. karena masih diberi berbagai kenikmatan. Akan tetapi, ia meminta karena sangat memerlukan sebuah baju yang bagus untuk dipakai. Untuk menghindari kehinaan dapat ditempuh cara sebagai berikut, yakni meminta sesuatu kepada ayah, saudara kandung, keluarga terdekat, kerabat dekat lainnya, maupun seorang dermawan yang suka bersedekah. Sedangkan cara yang ditempuh agar tidak menyusahkan orang lain adalah dengan tidak membuat permintaan khusus kepada siapapun, meminta secara umum, yakni jangan sampai meminta dengan suatu cara sehingga orang yang dimintai tidak mungkin menolaknya.
Perlu dipahami bahwa apabila seseorang memberi sesuatu karena malu atau terpaksa, maka mengambil pemberian semacam ini haram hukumnya, Yang demikian itu sama halnya dengan menyakiti hati seseorang dan mengambil hartanya dengan paksa. Adapun orang yang dalam keadaan darurat tidak boleh mengambilnya tanpa adanya keikhlasan dari pemberi, akan tetapi urusannya dengan Allah swt., karena seluruh keadaan yang sebenarnya tentu diketahui oleh Allah swt.. Allah swt. pasti mengetahui dengan persis keadaan hamba-hamba-Nya. Jadi, meminta kepada teman tidaklah mengapa, asalkan ia tahu bahwa teman yang dimintai itu memberinya dengan senang hati. ( Ihya' Ulumiddin )

'Allamah Zubaidi rah.a. berkata bahwa ancaman meminta-minta berlaku bagi orang yang meminta untuk keperluan diri sendiri. Seseorang yang meminta untuk memenuhi keperluan orang lain tidak mendapatkan ancaman, karena hal ini termasuk perbuatan baik, yaitu membantu orang lain yang sedang memerlukan bantuan sehingga orang lain menjadi senang, Dan tidak termasuk dalam kategori meminta-minta adalah seseorang yang meminta untuk dirinya, tetapi ia meminta dari keluarganya sendiri atau teman dekatnya, karena pada umumnya mereka senang dimintai. ( dari Kitab Ithaf ), Tapi syaratnya adalah keluarga yang dimintai senang kepadanya. Apabila tidak seperti itu, maka menyakiti ahli keluarga itu lebih keras ancamannya. Saya sendiri banyak mengalami dan menyaksikan kejadian seperti ini.
Salah seorang bibi ibu saya yang hingga kini masih hidup, pada masa kecil saya, setiap saya pergi ke Kandhala selalu memberi uang kepada saya sebesar dua rupee. Bahkan ketika saya sudah berkeluarga, ia masih tetap memberi uang kepada anak-anak saya. Maka saya meminta kepadanya agar memberikan uang kepada saya dari dua rupee menjadi empat rupee. Ketika mengajukan permintaan saya tersebut, saya selalu berkata, "Engkau telah meletakkan saya dan anak-anak saya dalam suatu derajat," Ternyata permintaan saya dari dua rupee menjadi empat rupee tersebut menyebabkan kegembiraan tersendiri baginya. Dan saya sendiri sangat menyukai pemberian tersebut. Terkadang, ketika ia tidak memiliki uang, saya memberikan uang kepadanya untuk kemudian diberikan kepada anak-anak saya. Dan ternyata ia juga tidak menolaknya, bahkan ia merasa senang dengan pemberian uang saya. Ia merasa bahwa dirinya masih memberi uang dengan uang tersebut. Demikian pula yang terjadi dengan paman ayah saya, Maulana Syamsul Hasan Rah.a.. Setiap saya pergi, ia selalu memberi uang kepada saya sebesar satu rupee. Ketika saya sudah berkeluarga dan mempunyai anak, ia memberikan jatah tersebut kepada anak-anak saya. Dan saya menekankan kepadanya agar terus memberikan uang tersebut kepada saya, jangan sampai berhenti. Sampai-sampai saya katakan kepadanya, "Engkau berikan atau tidak uang itu kepada anak-anak saya, saya tidak peduli. Yang penting, pemberian uang kepada saya jangan dihentikan." Saya selalu mengingat peristiwa tersebut, dan saya selalu mendoakan maghfirah untuknya. Mudah-mudahan Allah swt. membalasnya dengan limpahan pahala yang tiada batas. Jika ingat kejadian tersebut, saya sering tertawa sendiri dan suka mengulangi ucapan saya, "Pemberian uang kepada saya jangan dihentikan." Terkadang saya membaca kisah-kisah seperti ini dari orang terdahulu. Hal ini sengaja saya tulis karena dewasa ini banyak sekali masalah yang terkadang menyebabkan hubungan di antara sesama menjadi buruk. Tentu saja masalah tersebut menghalangi pikiran kita. Dengan diketengahkannya kisah-kisah seperti ini, semoga dapat menjawab masalah-masalah tersebut.
Kedua, 'Allamah Zubaidi rah.a. menulis bahwa seseorang yang meminta kepada orang lain bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk memenuhi keperluan orang lain, tidak termasuk dalam kategori ini. Masalah ini dijelaskan dengan dalil riwayat-riwayat yang telah lalu pada bab pertama mengenai hal menolong orang lain. Begitu pula bagi para santri. Bagi seorang santri, meminta adalah suatu kehinaan, namun sangat penting bagi mereka. Mulla Ali Qari rah.a. berkata, "Seseorang yang mampu bekerja, tetapi sibuk menuntut ilmu sehingga tidak dapat bekerja, maka ia diperbolehkan mengambil zakat dan sedekah sunnah. Dan seseorang yang mampu bekerja, akan tetapi ia sibuk beribadah sehingga meninggalkan pekerjaannya, maka ia tidak diperbolehkan mengambil zakat. Ia diperbolehkan mengambil harta sedekah sunnah, akan tetapi makruh hukumnya. Dan apabila ada suatu jamaah yang sibuk memperbaiki diri dan membersihkan hati berkumpul di suatu tempat, maka cara yang paling baik adalah memilih seseorang untuk mengurus makanan dan pakaiannya." ( Kitab Mirqat ).
Kesibukan menuntut ilmu, baik ilmu lahir maupun ilmu batin sangatlah penting. Seseorang yang sedang menuntut ilmu hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai godaan dengan berbagai kesibukan orang lain, maupun cemoohan orang-orang yang tidak menyukainya, lalu larut ke dalam berbagai kesibukan dunia, sehingga kehilangan waktu-waktu istimewanya. Memang, ejekan orang-orang yang jahil selalu diterima oleh para santri maupun para Nabi a.s..
Dewasa ini, suatu bencana telah menimpa para santri pada umumnya. Dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhannya, para ahli ilmu telah mementingkan belajar suatu keterampilan sebagai lahan untuk bekerja. Disebabkan oleh ejekan dan celaan para ahli dunia, hati para ahli ilmu pun menjadi rendah diri, sehingga ahli ilmu menganggapnya ( belajar sesuatu keterampilan ) sebagai sesuatu yang penting. Dan keadaan seperti itu telah berkembang di kalangan pondok pesantren. Padahal, hal itu sangat merugikan bagi perkembangan ilmu. Para ulama terdahulu telah memberi contoh kepada kita dengan jelas bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka terpaksa berdagang. Mereka mengajarkan ilmunya untuk berkhidmat. Sedangkan untuk memenuhi segala kebutuhannya, ia tidak mencari uang dari kegiatan mengajarnya, tetapi mencari dari sumber yang lain. Yang demikian ini merupakan cara yang paling utama. Sayangnya, hati dan keadaan kita tidak mampu untuk melakukan dua pekerjaan pada satu waktu. Hendaknya jangan ada rasa tamak dalam diri kita. Meskipun kita menuntut ilmu sambil mencari uang untuk keperluan kita, hendaknya kita tetap memperbanyak kesibukan untuk keperluan agama dan ilmu. Hendaknya kita berusaha sekuat tenaga untuk mengurangi kesibukan dunia. Kenyataan yang sering terjadi adalah bahwa pada mulanya kita dapat melakukan keduanya secara bersama-sama, namun pada akhirnya, kesibukan dunia lebih diutamakan.
Imam Ghazali rah.a. menulis sepuluh adab dalam mencari ilmu. Adab yang keenam adalah mengurangi kesibukan dunia dan meninggalkan keluarga dan kampung halaman sejauh mungkin, karena kesibukan keluarga dapat menjadi penghalang bagi tercapainya cita-cita. Allah swt. tidak menciptakan dua hati kepada siapa pun (satu untuk mencari ilmu, dan lainnya untuk mencari dunia), sebagaimana firman Allah swt. :



"Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya." ( Q.S. Al-Ahzab: 4 )

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa semakin seseorang memikirkan berbagai hal, maka ia akan semakin jauh dari hakikat ilmu. Orang yang menuntut ilmu dengan pikiran yang bercabang-cabang adalah seperti orang yang menimba air dengan ember yang berlubang-lubang, sehingga setelah ember sampai di atas, ia hanya mendapatkan sedikit air. ( Kitab Ihya' ). Sebenarnya, maksud mencari ilmu bukanlah untuk mendapatkan makanan atau untuk mencari harta kekayaan. Memang, semuanya itu akan diperoleh, namun bukan merupakan tujuan utama. Imam Ghazali rah.a menulis tentang ancaman terhadap ulama yang jahat. Ia menyebutkan bahwa apabila dibandingkan keadaan ahli dunia dengan orang alim, maka kedudukan ahli dunia sangatlah rendah. Akan tetapi, dipandang dari segi adzab Allah swt., ulama yang jahat mendapatkan siksa yang lebih pedih dibandingkan dengan ahli dunia yang jahil. Dan yang akan mendapatkan kejayaan yang sebenarnya hanyalah ulama akhirat.
Ulama akhirat memiliki beberapa ciri, antara lain: Tidak menjadikan ilmunya untuk tujuan dunia. Derajat seorang ulama yang terendah adalah bahwa ia memandang dunia tampak hina, kotor, rendah, dan akan binasa. Sebaliknya, ia melihat akhirat sebagai tempat kebahagiaan, keindahan, kenikmatan yang suci, dan derajat kemuliaan yang agung. Dapat diibaratkan bahwa dunia dan akhirat bagaikan dua orang istri yang sedang dimadu. Apabila salah seorang istrinya ridha, tentu yang lainnya akan marah. Atau seperti sebuah timbangan, apabila satu sisi dari timbangan tersebut turun, maka sisi yang lain akan naik. Orang yang tidak mengetahui kehinaan dunia, sudah barang tentu akalnya telah rusak.
Hasan Bashri rah. a. berkata, "Adzab bagi seorang ulama adalah matinya hati. Hati yang mati adalah hati yang tidak takut dengan ancaman Allah swt, yakni hati mengizinkan amal akhirat digunakan untuk mencari keduniaan." Yahya bin Mu'adz rah.a. berkata, "Cahaya ilmu dan hikmah akan pudar apabila ilmu tersebut digunakan untuk mencari dunia." Sa'id bin Musayyab rah.a. berkata, "Apabila engkau melihat seorang ulama berada di depan pintu penguasa, maka ia adalah seorang pencuri." Umar r.a. berkata, "Apabila engkau melihat seorang ulama mencintai dunia, maka ketahuilah bahwa ia tidak mengetahui agama, karena seseorang akan berkecimpung pada sesuatu yang dicintainya." ( Mukhtashar Ihya' ). Oleh karena itu sangatlah penting bagi seorang ulama untuk mengawasi keadaan nafsunya pada setiap saat dan keadaan agar tidak tergelincir dalam cinta dunia. Karena cinta dunia merupakan sumber segala maksiat. Bahkan, hendaknya seorang ulama membenci dunia, jangan meminta-minta, dan jangan mengambil sedekah dan zakat ( tetapi ada nasihat yang penting bagi pemberi sedekah, hendaknya mengutamakan pemberian sedekah kepada orang-orang yang sibuk dengan ilmu agama, santri, dan para ulama, sebagaimana telah dijelaskan dalam "bab adab sedekah" yang telah lalu). Cinta dunia juga merupakan penyakit yang sangat berbahaya, yang lambat laun dapat bertambah parah. Penyakit berbahaya ini tidak hanya bersembunyi di dalam diri pemilik harta, tetapi juga bersembunyi di dalam diri pemilik pangkat. Begitu pula dalam hal mencari pangkat. Mengenai pencarian pangkat, penyakit berbahaya ini lebih cepat menggerogoti seseorang daripada penyakit mencari harta. Bahkan kaitannya dengan agama, penyakit cinta kedudukan lebih banyak berkembang daripada penyakit cinta dunia.


Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 6 Anjuran Zuhud, Qana'ah dan Tidak Meminta-minta. Hadits ke-1

Hadits ke-1

Dari Abdullah bin Mas'ud r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang tertimpa kelaparan, lalu ia meminta-minta kepada manusia, kelaparannya tidak akan hilang. Dan barangsiapa tertimpa kelaparan, lalu mengadukannya kepada Allah swt., maka Allah swt. akan memberikan kepadanya rezeki yang akan ia dapatkan dengan segera atau terlambat sedikit. ( Hadits Riwayat Tirmidzi )

Keterangan
"Barangsiapa yang meminta-minta kepada manusia, kefakirannya tidak akan hilang." Maksudnya adalah keperluannya tidak akan terpenuhi. Jika hari ini ia meminta-minta untuk suatu keperluan dan secara lahiriah keperluannya sudah terpenuhi, maka besok akan datang lagi suatu keperluan yang lebih penting dari keperluan sebelumnya. Dan keperluannya akan terus datang. Jika ia menengadahkan tangannya ke hadapan Allah swt., maka keperluannya ini akan terpenuhi, dan keperluan yang lain tidak akan datang. Seandainya datang, Allah swt. yang akan menyelesaikannya.

Di dalam keterangan hadits ke-8 Bab 1, Kabsyah r.a . berkata bahwa Rasulullah saw. menyebutkan beberapa perkara dengan bersumpah. Salah satu di antaranya adalah, "Barangsiapa yang membuka pintu meminta-minta kepada manusia, Allah swt. akan membukakan pintu kefakiran kepadanya. Juga terdapat hadits yang lain bahwa Rasulullah saw. bersabda dengan bersumpah seperti di atas yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf r.a.. Inilah sebabnya orang yang mengemis dari pintu ke pintu selalu dalam keadaan miskin dan sempit.

Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan, "Barangsiapa yang mengadukan kelaparannya dan keperluannya kepada Allah swt., Allah swt. akan menghilangkan kefakirannya dengan cepat, yaitu dengan kematian yang cepat atau datangnya kekayaan dengan cepat. Cepatnya kematian mempunyai dua pengertian. Yang pertama, jika waktuya telah dekat, maka Allah swt. akan mematikannya sebelum ia menanggung musibah yang berupa kelaparan. Kedua, matinya seseorang menjadi sebab ia menjadi kaya. Misalnya ia mendapatkan bagian yang sangat banyak dari harta warisan seseorang, atau ada seseorang ketika hendak mati berwasiat supaya sebagian dari hartanya diberikan kepada si Fulan.

Banyak kisah semacam ini dan tampak di depan mata. Di Makkah, sebagian orang yang hendak meninggal dunia berwasiat supaya hartanya dijual kemudian uangnya dikirimkan kepada seseorang yang bernama Fulan, yang tinggal di sebuah kota di India.
Kurdi adalah nama sebuah kabilah. Di sana terdapat seorang perampok yang terkenal. Ia menceritakan sendiri kisahnya, "Ketika saya sedang berjalan bersama teman-teman saya untuk merampok, pada saat dalam perjalanan kami duduk di sebuah tempat. Di sana kami lihat ada tiga pohon kurma. Dua pohon berbuah dengan lebatnya, dan yang satu kering. Seekor burung pipit berkali-kali datang mengambil buah kurma yang sudah masak dengan paruhnya dari pohon yang banyak buahnya, kemudian dibawanya ke pohon yang kering itu. Ketika melihat peristiwa itu, kami merasa sangat keheranan. Saya lihat burung itu pulang pergi hingga sepuluh kali untuk mengambil buah kurma dan membawanya ke pohon yang kering itu. Maka timbullah pikiran dalam diri saya untuk melihat apa yang dikerjakan burung pipit itu dengan buah-buah kurma tersebut. Sesampainya saya di atas pohon kurma yang kering itu, di sana saya lihat seekor ular yang buta sedang membuka mulutnya, dan burung pipit itu memasukkan buah kurma yang sudah masak ke dalam mulut ular itu. Setelah melihat kejadian tersebut, saya merasa mendapat pelajaran sehingga saya menangis. Saya berkata, "Tuhanku, ini ular yang diperintahkan oleh Nabi-Mu saw. untuk dibunuh. Karena ia buta, Engkau menugaskan seekor burung pipit untuk menyampaikan rezeki kepadanya, dan aku adalah hamba-Mu, orang yang telah berikrar mentauhidkan-Mu. Engkau telah menjadikan aku sebagai orang yang merampok harta orang lain." Pada saat itu terasa dalam hatiku bahwa telah terbuka untukku pintu taubat. Pada saat itu juga saya mematahkan pedang saya yang selalu aku gunakan untuk merampok. Lalu saya menjerit mengucapkan, "Ampunilah aku, ampunilah aku." sambil menaburkan debu di atas kepala saya. Lalu saya mendengar suara ghaib, 'Kami telah mengampunimu, Kami telah mengampunimu.' Dan ketika saya menghampiri teman-teman saya, mereka bertanya, 'Apakah yang telah terjadi pada dirimu?' Saya menjawab, 'Dahulu aku memutuskan hubungan dengan Allah swt., sekarang aku telah berdamai dengan-Nya.' Setelah mengucapkan perkataan tersebut, saya menceritakan semua kisah yang telah saya alami, sehingga mereka berkata, 'Kami juga berdamai dengan Allah swt.' Setelah itu mereka mematahkan pedang masing-masing, dan semua hasil rampokan kami tinggalkan, setelah itu kami membeli pakaian ihram, lalu kami berangkat ke Makkah. Setelah tiga hari tiga malam, sampailah kami di sebuah desa. Di sana kami bertemu dengan seorang wanita tua yang sudah buta matanya. Kemudian, sambil menyebut nama saya ia bertanya, 'Adakah di antara kalian orang Kurdi yang bernama Fulan?' Teman-teman saya menjawab, 'Ya, ada.' Lalu wanita itu mengeluarkan beberapa lembar pakaian dan berkata, 'Anakku sudah tiga hari meninggal dunia, ia meninggalkan pakaian-pakaian ini. Sejak tiga hari itu pula aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw., beliau bersabda, 'Berikanlah pakaian anakmu itu kepada si Fulan dari kabilah Kurdi.' Kemudian saya mengambil pakaian-pakaian tersebut, dan selanjutnya kami semua memakainya." (dari Kitab Raudh ).

Dari kisah tersebut terdapat dua pelajaran. Yang pertama adalah tentang rezeki dari Allah swt. untuk seekor ular yang buta. Kedua, pemberian pakaian dari Rasulullah saw.. Jika Allah swt. berkehendak untuk menolong seseorang, tidaklah sulit bagi Dia untuk menciptakan sebab-sebab pertolongan itu. Dialah Yang menciptakan penyebab kekayaan dan penyebab kefakiran. Dengan keberkahan taubat yang sungguh-sungguh, pemberian pakaian oleh Rasulullah saw. merupakan sesuatu yang patut dibanggakan. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Ibnu Abbas r.huma. meriwayatkan sabda Nabi saw., "Barangsiapa yang kelaparan atau ditimpa kemiskinan, sedangkan ia menyembunyikan hajat dan keperluannya dari orang lain, maka menjadi hak Allah swt. untuk menjamin rezeki yang halal selama satu tahun." ( Kitab Misykat ).
Dalam sebuah hadits disebutkan, "Barangsiapa yang mengalami kelaparan atau ditimpa kemiskinan, sedangkan ia menyembunyikan hajat dan keperluannya dari orang lain, dan ia hanya meminta kepada Allah swt., maka Allah swt. akan membukakan untuknya pintu rezeki yang halal selama satu tahun." (Kanzul-'Ummal).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang meminta kekayaan kepada Allah swt., Allah swt. akan memberikan kepadanya kekayaan. Dan barangsiapa meminta kesucian dari sesuatu yang tidak baik kepada Allah, maka Allah swt. akan memberikannya. Dan tangan di atas (orang yang memberi) itu lebih baik dari tangan yang di bawah (orang yang meminta). Tidak seorang pun yang membuka pintu meminta-minta, kecuali Allah swt. akan membukakan baginya pintu kefakiran."
Ketika Ali Karramallahu Wajhah mendengar suara seseorang di Padang Arafah yang sedang meminta-minta kepada orang-orang, ia memukulnya dengan tongkat, lalu bekata, "Pada hari seperti ini, di tempat seperti ini, kamu meminta-minta kepada selain Allah swt."
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa barangsiapa yang membuka pintu meminta-minta, Allah swt. akan membukakan baginya pintu kefakiran di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa membuka pintu pemberian karena Allah swt., maka Allah swt. akan membukakan baginya pintu kebaikan di dunia dan akhirat. Dalam hadits yang lain disebutkan, “Barangsiapa yang membuka pintu meminta-minta, Allah swt. akan membukakan baginya pintu kefakiran. Seseorang yang membawa tali lalu mengumpulkan kayu bakar dan mengikatnya kemudian menggendongnya dan menjualnya, dan dengan hasil penjualan itu ia memenuhi keperluan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta, baik ia mendapatkan pemberian atau tidak." Dan dalam sebuah hadits yang lain disebutkan, "Barangsiapa yang membuka pintu pemberian dengan cara sedekah atau silaturahmi, maka Allah swt. akan memperbanyak baginya (yakni hartanya akan bertambah). Dan barangsiapa yang membuka pintu meminta-minta dengan niat untuk memperbanyak hartanya, kekurangannya akan semakin bertambah, yakni keperluannya akan terus meningkat, dan penghasilannya tidak akan bertambah." Imran bin Husain r.a. meriwayatkan sabda Nabi saw., "Barangsiapa menghadap Allah swt. dengan sungguh-sungguh, Allah swt. akan menanggung semua keperluannya, dan Allah akan memberikan rezeki yang tidak ia sangka-sangka. Dan barangsiapa yang hanya sibuk dengan dunia, maka Allah swt. akan menyerahkan orang itu kepada dunia (yakni Allah swt. akan memberinya sesuai dengan jerih payahnya)."

Abu Dzar r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Aku berwasiat kepadamu supaya bertakwa kepada Allah ketika sendirian dan ketika di tengah-tengah orang banyak. Jika kamu telah melakukan dosa, maka (untuk menebusnya) kerjakanlah kebaikan. Janganlah meminta-minta kepada seorang pun. Janganlah kamu khianati amanah seseorang. Jangan menjadi hakim di antara dua orang karena ini pekerjaan yang sangat penting, tidak setiap orang mampu melakukannya)."

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang rela dengan yang sedikit, merasa cukup, serta bertawakkal kepada Allah swt, maka ia tidak akan merasa gelisah dalam mencari rezeki. Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa barangsiapa ingin menjadi orang yang paling kuat, hendaknya bertawakkal kepada Allah swt.. Dan barangsiapa ingin menjadi orang yang paling kaya, hendaknya ia lebih percaya kepada apa yang ada di sisi Allah swt. daripada apa yang ada di sisinya. Barang siapa ingin menjadi orang yang paling mulia, hendaknya bertakwa kepada Allah swt. ( Pengalaman menunjukkan bahwa takwa seseorang sangat berpengaruh kepada orang lain. Semakin bertakwa seseorang, kemuliaannya semakin bertambah dalam pandangan orang lain ).
 
Wahab rah. a. menukilkan firman Allah swt., "Ketika hamba-Ku bertawakkal kepada-Ku, seandainya bumi dan langit semuanya bersatu untuk memperdayakannya, maka Aku akan memberikan jalan keluar kepadanya.
Ibnu Abbas r.huma. berkata bahwa Allah swt. menurunkan wahyu kepada Nabi Isa a.s., "Bertawakkallah kepada-Ku, maka Aku akan menanggung semua kepeluanmu. Jangan jadikan selain Aku sebagai penolongmu, supaya Aku tidak membiarkanmu."
Dalam banyak hadits disebutkan bahwa anak laki-laki Auf bin Malik r.a. telah ditawan oleh orang-orang kafir dan dibiarkan kelaparan. Kemudian ia diikat denga tali yang terbuat dari kulit dan disiksa dengan kerasnya. Maka ia mengirim kabar kepada ayahnya dengan suatu cara, mengenai keadaannya, dengan tujuan supaya ayahnya memintakan doa kepada Rasulullah saw. untuk dirinya. Setelah Rasulullah saw. mengetahuinya, beliau bersabda, "Sampaikanlah pesan ini kepadanya: Takutlah kepada Allah swt., dan bertawakkallah kepada-Nya, setiap pagi dan sore bacalah ayat ini:
 
 "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan ( keimanan dan keselamatan ) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling ( dari keimanan ), maka katakanlah, 'Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia, hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." ( Q.s. At-Taubah: 128-129 ).
Setelah pesan ini sampai kepadanya, ia pun mulai membaca ayat tersebut. Pada suatu hari, tali-tali yang mengikat dirinya terputus dengan sendirinya. Setelah terlepas dari tahanan orang-orang kafir, ia berlari pulang dan membawa serta beberapa hewan orang kafir.

Ibnu Abbas r.huma. berkata, "Barangsiapa yang takut kepada kezhaliman seorang raja, kepada binatang buas, atau takut tenggelam di laut, maka bacalah ayat di atas, insya Allah ia tidak akan ditimpa musibah. Dalam sebuah hadits yang lain juga terdapat perintah supaya memperbanyak membaca:


Ayat di bawah ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang dialami anak laki-laki Auf bin Malik r.a.:

"Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah swt., Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberikan rezeki dari jalan yang tidak ia sangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah swt., niscaya Dia akan mencukupinya."
Sahabat r.a. tersebut tidak menyangka bahwa rezekinya ditentukan dari harta orang-orang kafir yang sangat menzhaliminya.

Seorang wali berkata, "Saya beserta seorang teman saya tinggal di sebuah gunung. Kami sibuk beribadah setiap saat. Makanan teman saya hanyalah rerumputan. Untuk keperluan makan saya, Allah swt. telah menyediakan seekor rusa betina yang selalu datang kepada saya setiap hari, dan setelah mendekatkan diri kepada saya, ia akan berdiri sambil membuka kedua kakinya, lalu saya meminum susunya. Setelah selesai, rusa itu segera pergi. Peristiwa ini berlangsung cukup lama; rusa betina itu selalu datang kepada saya dan saya meminum susunya. Tempat teman saya di bukit itu jauh dari tempat saya. Pada suatu hari, ia datang kepada saya dan berkata, 'Ada satu kafilah/ rombongan yang berhenti di dekat tempat ini, marilah kita pergi kepada orang-orang di kafilah itu. Di sana mungkin kita akan mendapatkan susu dan bahan-bahan makanan yang lain.' Pada mulanya saya menolaknya, akan tetapi setelah ia memaksa saya, saya pun pergi bersamanya. Maka sampailah kami berdua ke tempat kafilah tersebut, kemudian mereka memberi makan kepada kami. Setelah selesai makan, kami pulang ke tempat masing-masing. Setelah itu, saya selalu menunggu kedatangan rusa betina itu pada saat-saat ia biasa datang, tapi ternyata ia tidak datang. Setelah menunggu beberapa hari, sadarlah saya bahwa karena dosa mengharap makanan dari kafilah tersebut, sehingga pintu rezeki saya telah ditutup."

Penyusun kitab Raudh berkata bahwa secara lahiriah, wali tersebut telah melakukan tiga dosa, yakni: 1) Ia telah meninggalkan tawakkal yang selama ini telah dijalaninya. 2) Ia bersikap tamak, tidak merasa cukup dengan rezeki yang telah diterimanya yang karenanya ia tidak perlu bersusah-payah. 3) Ia memakan makanan yang tidak halal, sehingga ia terjauh dari rezeki yang halal.

Kisah semacam ini mengandung pelajaran yang besar. Kadang-kadang, karena ketamakan kita sendiri, kita terjauh dari nikmat-nikmatnya Allah swt.. Dilihat secara lahiriah, dengan meminta-minta kita akan mendapatkan sesuatu. Akan tetapi karena meminta-minta itu merupakan perbuatan yang buruk, kita akan terjauh dari nikmat-nikmat Allah yang sesungguhnya akan kita dapatkan tanpa mencarinya dan tanpa meminta.
Imam Ahmad bin Hanbal rah.a. berdoa:
 
"Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menjaga wajahku agar tidak bersujud kepada selain-Mu, begitu juga jagalah lisanku dari meminta-minta kepada selain Engkau."
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab 6 Anjuran Zuhud, Qana'ah dan Tidak Meminta-minta

Ayat-ayat Al-Qur'an Tentang Qana'ah

"Dijadikan indah pada ( pandangan ) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik ( surga ). Katakanlah, 'Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?' Untuk orang-orang yang bertakwa ( kepada Allah ), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan ( ada pula ) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya. ( Yaitu ) orang-orang yang berdoa, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka, (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun pada waktu sahur." ( Q.S.Ali 'Imran: 14-17 ).

Keterangan
Allah swt. mengungkapkan bahwa cinta terhadap perkara-perkara tersebut sebagai cinta syahwat. Imam Ghazali rah. a. berkata, "Syahwat yang berlebihan dinamakan 'isyq (cinta yang sangat) yang merupakan penyakit bagi hati yang kosong dari tafakkur. Mengobatinya semenjak dini sangatlah penting, yaitu dengan cara mengurangi dalam memandangnya, dan mengurangi dalam memikirkannya. Jika tidak diobati semenjak dini, hati akan semakin cenderung kepadanya, sehingga semakin susah untuk menghilangkannya. Tetapi jika diobati semenjak dini, sangatlah mudah menghilangkan penyakit tersebut. Seperti inilah cinta yang berlebihan terhadap harta, kedudukan, kekayaan, anak, bahkan terhadap burung (merpati, dan sebagainya), dan bermain catur. Jika rasa cinta terhadap perkara-perkara di atas telah menguasai diri seseorang, maka urusan dunia dan agama orang itu akan rusak. Seperti orang yang mengendarai kuda, untuk berbalik atau berputar di tempat yang terbuka tentu sangat mudah, tetapi setelah sampai di pintu dan ingin berbalik, jika hanya memegang dan menarik ekornya tentulah sangat sulit. Maka dari itu, semenjak awal, janganlah hati kita terlalu berlebihan dalam mencintai harta." ( Ihya' ).

Para ulama berkata bahwa semua benda di dunia masuk ke dalam tiga jenis tersebut, yakni: a) barang tambang, b) tumbuh-tumbuhan, c) hewan. Dan Allah swt. telah mengisyaratkan dengan permisalan, agar kita berhati-hati terhadap istri, anak, keluarga, saudara, dan teman. Ringkasnya, hendaknya kita berhati-hati dalam mencintai sesama manusia. Demikian pula dengan emas, perak, apa saja yang berhubungan dengan benda, serta berbagai jenis binatang ternak dan tumbuh-tumbuhan, hendaknya kita juga berhati-hati. Benda-benda itulah yang dimaksud dunia. ( Kitab Ihya' ).

Setelah memberitahu dan memperingatkan perkara-perkara tersebut, Allah swt. berfirman bahwa benda-benda itu hanya berguna bagi kehidupan selama beberapa hari saja di dunia ini. Sehingga, tidak semestinya manusia mencintai salah satu darinya, dan hati jangan sampai terpaut kepadanya. Sesungguhnya, hati hanya layak terpaut pada hal-hal yang berguna, kekal abadi, dan dapat membantunya di akhirat. Yang paling utama adalah keridhaan Allah swt.. Ridha Allah swt. adalah segala-galanya dan lebih baik jika dibandingkan dengan segala sesuatu yang ada di dunia maupun di akhirat.

Setelah menyebut kenikmatan-kenikmatan di surga, Allah swt. berfirman:
 "Dan keridhaan Allah adalah lebih besar. Itulah keberuntungan yang besar." (Q.S. At-Taubah: 72).
Demikianlah, sesungguhnya kenikmatan di dunia dan di akhirat tidak bisa menyamai kenikmatan memperoleh keridhaan Allah swt.. Dalam ayat di atas, setelah menyebut semua perkara yang dicintai manusia dengan rinci, Allah swt. mengingatkan bahwa semua itu hanyalah sebagai sarana dalam hidup di dunia. Kemudian, dalam Al-Qur'an berulangkali diperingatkan dengan berbagai cara, seperti celaan terhadap orang mencari dunia, celaan terhadap orang yang lebih mementingkan dunia dibandingkan akhirat, juga dinyatakan bahwa dunia ini hanyalah tipuan belaka, supaya kita mengetahui dengan benar hakikat dunia ini, bahwa benda-benda di dunia ini hanyalah bersifat sementara dan hanya untuk memenuhi keperluan hidup. Dunia bukan kediaman yang kekal abadi sehingga tidak layak untuk dicintai.
Selanjutnya, saya akan mengetengahkan beberapa ayat yang berkaitan dengan masalah di atas.


Read More or Baca Lebih Lengkap ..

What Does This Blog Talk? Blog ini Bicara Tentang...

This blog wanna share to all of you about greatness and amazing benefit of sedekah or giving. You wanna find that if we make sedekah, it will not decrease your wealth.

Let's read and get yourself enlightened !!

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP