Rabu, 16 Desember 2009

Bab III Silaturahmi - Ayat ke-3

Ayat Ke-3

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa, 'Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama-sama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka." (Q.s. Al-Ahqaf: 15-16).
Keterangan




Allah swt. berkali-kali menekankan masalah yang berhubungan dengan hak kaum kerabat dan kedua orangtua sebagamana telah disebutkan dalam penjelasan ayat terdahulu. Dalam ayat ini, Allah swt. menekankan secara khusus agar berbuat baik, khususnya kepada kedua orangtua, yaitu, Kami (Allah) telah memerintahkan berbuat baik kepada kedua orangtua." Perintah untuk berbuat baik kepada orangtua telah disebutkan di tiga tempat dalam Al-Qur'an. Yang pertama dalam surat Al-'Ankabut ayat 8, kemudian dalam surat Luqman ayat 1, dan yang ketiga dalam ayat di atas. Dari sini dapat diketahui betapa masalah ini sangat ditekankan.
Dalam Tafsir Khazin disebutkan bahwa ayat ini turun mengenai Abu Bakar Shiddiq r.a. Persahabatannya yang pertama kali dengan Rasulullah saw. terjalin ketika mereka sedang dalam perjalanan ke Syam, pada saat itu ia berusia 18 tahun, dan Rasulullah saw. berusia 20 tahun. Dalam perjalanan itu, keduanya berhenti di bawah sebuah pohon bidara. Pada saat itu, Abu Bakar r.a. menemui seorang pendeta di sana, sedangkan Rasulullah saw. duduk di bawah sebatang pohon. Pendeta itu bertanya kepada Abu Bakar r.a., "Siapakah orang yang berada di bawah pohon itu?" Ia menjawab, "Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib." Pendeta itu berkata, "Demi Tuhan, dia adalah seorang Nabi. Setelah Nabi Isa a.s., tidak ada seorang pun yang duduk di bawah pohon itu. Inilah Nabi akhir zaman. Ketika Rasulullah saw. berusia 40 tahun dan beliau diangkat menjadi Nabi, Abu Bakar r.a. masuk Islam. Dua tahun setelah peristiwa itu, yakni ketika Abu Bakar r.a. berusia 40 tahun, ia membaca doa ini:



'Berikanlah kepadaku taufik untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku."
Ali Karramallahu Wajhah berkata bahwa di kalangan kaum Muhajirin tidak ada seorang pun yang berbahagia seperti Abu Bakar r.a., karena kedua orangtuanya telah memeluk Islam. Doa yang kedua adalah mengenai anak-anak agar mereka menjadi anak shalih. Hasilnya, anak-anak Abu Bakar r.a. telah memeluk Islam. (Tafsir Khazin)
Ayat pertama yang disebutkan dalam surat Al-'Ankabut lebih luas lagi penekanannya, karena di dalamnya terdapat perintah agar berbuat baik kepada kedua orangtua yang kafir. Jika Allah swt. memerintahkan agar berbuat baik dan bergaul dengan baik kepada orangtua yang kafir, maka terhadap orangtua yang Islam tentu ditekankan untuk berbuat baik kepada mereka.
Sa'ad bin Abi Waqqash r.a., berkata, "Ketika saya memeluk Islam, ibu saya bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan tidak akan minum selama saya tidak berpaling dari agama Muhamad saw.. Ia telah meninggalkan makan dan minum sehingga harus dipaksa untuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Karena peristiwa inilah maka ayat suci ini diturunkan." (Durrul-Mantsur).
Pelajaran yang dapat dipetik dari kejadian ini adalah, bahwa dalam keadaan yang sulit seperti itu, Allah swt. tetap berfirman, "Kami memerintahkan kamu agar berbuat baik kepada kedua orangtua." Tetapi jika mereka mengajak kepada kemusyrikan, maka tidak wajib mentaati mereka.
Seseorang bertanya kepada Hasan r.a., "Apa yang menjadi ukuran berbuat baik kepada kedua orangtua itu?" Ia berkata, "Apa saja yang menjadi milikmu belanjakanlah untuknya, dan apa saja yang diperintahkannya taatilah. Tetapi jika mereka menyuruh berbuat suatu dosa, maka jangan mentaati mereka." Inilah ajaran Islam, walaupun kedua orangtua yang musyrik berusaha menjadikan anak-anaknya musyrik, tetap saja diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka. Akan tetapi tidak boleh mentaati mereka dalam hal kemusyrikan. Bagaimanapun, hak kedua orangtua tidak dapat menyamai hak Khaliq.



"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq."
Sekalipun orangtua berusaha dan memerintahkan anak mereka menjadi musyrik, Allah swt. tetap memerintahkan anak untuk berbuat baik kepada mereka. Dalam hadits yang lain disebutkan agar kita berbuat baik kepada orangtua. Sebab turunnya surat Luqman adalah karena peristiwa yang terjadi pada sahabat Sa'ad r.a.. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Sa'ad berkata, "Saya selalu berbuat baik kepada ibu saya. Ketika saya masuk Islam, ibu saya berkata, 'Sa'ad, apa yang telah kamu lakukan? Tinggalkanlah agama itu. Jika tidak, saya akan berhenti makan dan minum selamanya sehingga saya mati, dan orang-orang akan menyebutmu sebagai pembunuh ibumu sendiri.' Saya berkata kepada ibu saya, 'Jangan begitu, saya tidak bisa meninggalkan agama saya." Ia pun tidak makan dan minum satu hari. Pada hari kedua, ia juga tidak makan dan minum. Maka saya berkata kepadanya, "Seandainya engkau punya 100 nyawa, dan semuanya engkau korbankan, maka saya tidak akan meninggalkan agama saya. Ketika itu, ibu saya melihat keteguhan hati saya sehingga mau makan dan minum." (Durrul-Mantsur.) 
Ayat di atas memerintahkan kita agar berbuat baik kepada kedua orangtua. Faqih Abul-Laits Samarqandi rah.a. berkata, seandainya Allah swt. tidak memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, dengan menggunakan hati dan akalnya, manusia tentu sangat perlu untuk menunaikan hak-hak orangtua, apalagi Allah swt. di dalam semua kitab-Nya, yakni Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an memerintahkan kepada kita untuk menunaikan hak-hak mereka. Allah swt. menurunkan wahyu kepada semua nabi agar manusia menunaikan hak-hak orangtua. Allah swt. juga menegaskan bahwa keridhaan-Nya bergantung pada keridhaan kedua orangtua dan kemurkaan-Nya bergantung pada kemurkaan orangtua. (Tanbihul-Ghafilin).
Jika tiga ayat di atas membicarakan tentang berbuat baik kepada orangtua, di bawah ini tiga ayat mengenai ancaman bagi yang berbuat buruk kepada mereka.
Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab II Celaan Terhadap Kebakhilan/ Kekikiran - Ayat ke-2

Ayat ke-2

"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (jika kamu bersedekah atau berderma), dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Qs. Al- Baqarah: 268)
Keterangan


Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Dalam diri manusia ada satu syaitan yang bekerja dan ada satu malaikat yang bekerja. Pekerjaan syaitan adalah menakut-nakuti keburukan (misalnya, jika bersedekah kamu akan jatuh miskin dan sebagainya), dan mendustakan yang benar. Dan pekerjaan malaikat adalah menjanjikan kebaikan dan membenarkan yang haq. Barangsiapa mendapatkannya (yakni pikiran tentang perkara yang baik masuk ke dalam hati) maka anggaplah itu dari Allah swt. dan bersyukurlah. Dan barangsiapa mendapatkan sesuatu yang lain (pikiran kotor masuk ke dalam hati) maka mintalah perlindungan dari godaan syaitan. Setelah itu Rasulullah saw. membaca ayat suci ini." (Misykat). Maksudnya, Rasulullah saw. membaca ayat ini untuk menguatkan sabdanya tersebut. Di dalamnya, Allah swt. berfirman bahwa syaitan menakut-nakuti dengan kefakiran, mendorong berbuat keji, dan berkata yang kotor. Inilah yang dimaksud mendustakan yang haq.
Abdullah bin Abbas r.huma. berkata bahwa di dalam ayat suci ini ada dua perkara dari Allah swt., dan dua perkara dari syaitan. Syaitan menjanjikan kefakiran dan memerintahkan kemungkaran. Ia berkata, "Jangan membelanjakan harta, simpanlah dengan hati-hati karena kamu pasti memerlukannya." Sedangkan Allah swt. menjanjikan ampunan atas dosa-dosa, dan menjanjikan bertambahnya rezeki bagi orang yang membelanjakan hartanya. (Durrul-Mantsur).
Imam Ghazali rah.a. berkata, "Orang hendaknya jangan terlalu sibuk memikirkan yang akan datang dan apa yang akan terjadi. Jika Allah swt. sendiri telah menjanjikan rezeki, hendaknya ia meyakini dan memahami bahwa mengkhawatirkan keperluan pada masa yang akan datang itu adalah bisikan syaitan. Sebagaimana telah disebutkan di dalam ayat ini, syaitan selalu membisikkan ke dalam hati manusia berupa kekhawatiran: Jika kita tidak mengumpulkan harta, maka pada waktu kita sakit atau sudah lemah dan tidak mampu bekerja, atau datang keperluan yang mendadak, kita akan berada dalam kesulitan, sehingga kita akan repot dan menderita. Dengan pikiran-pikiran seperti itu, syaitan telah memerangkap orang ke dalam kesusahan, penderitaan, dart ketakutan pada saat itu, dan ia akan terus-menerus berada dalam penderitaan tersebut. Kemudian syaitan akan menertawakannya, "Orang bodoh ini sedang terperangkap dalam penderitaan yang sebenarnya, yakni takut akan penderitaan yang semu." (Ihya' Ulumiddin). Demikianlah, setiap waktu ia resah memikirkan bagaimana mengumpulkan harta, dan kekhawatiran tentang masa depan selalu menghantuinya.

Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab I Keutamaan Menginfakkan Harta, - Hadits ke-2

Hadits ke-2

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, "Ketika seorang hamba berada pada waktu pagi, dua malaikat akan turun kepadanya, lalu salah satu berkata, 'Ya Allah, berilah pahala kepada orang yang menginfakkan hartanya.' Kemudian malaikat yang satu berkata, 'Ya Allah, binasakanlah orang-orang yang bakhil." (Muttafaq 'Alaih- Misykdt).

Keterangan



Dalam Ayat ke-20 yang lalu terdapat penegasan terhadap hadits ini yang maksudnya adalah, apa saja yang kita infakkan, maka Allah swt. akan menggantinya. Berkenaan dengan hal tersebut banyak dikutip riwayat-riwayat lain yang mendukung penegasan maksud tersebut. Abu Darda' r.a. meriwayatkan sabda Nabi saw. bahwa ketika matahari terbit, muncullah malaikat yang menyeru dari dua arah. Semua makhluk mendengar seruannya, kecuali jin dan manusia. Diserukan, "Wahai manusia, berjalanlah ke arah Rabbmu. Sesuatu yang sedikit tetapi mencukupi keperluan, itu lebih baik daripada sesuatu yang banyak tetapi menyebabkan lalai kepada Allah swt.." Dan ketika matahari terbenam, dua malaikat muncul dari dua arah lalu berdoa dengan suara keras, "Ya Allah, berilah balasan kepada orang-orang yang menafkahkan hartanya, dan binasakanlah orang-orang yang bakhil dalam menginfakkan hartanya." ('Allamah 'Aini dari Riwayat Ahmad).
Dalam sebuah hadits yang lain diterangkan bahwa apabila matahari terbit, maka dua malaikat muncul dari dua sisinya seraya berseru, "Wahai Allah, berilah balasan segera kepada orang yang menafkahkan hartanya. Wahai Allah, binasakanlah segera harta orang yang bakhil dalam menginfakkannya." Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa di atas langit ada dua malaikat yang ditugaskan untuk mengurusi hal ini tanpa diserahi tugas yang lain. Mereka berkata, "Wahai Allah, berilah balasan kepada orang-orang yang berinfak." Malaikat yang lain berkata, "Wahai Allah, berilah kebinasaan kepada orang-orang yang menahan hartanya." (Kanzul-'Ummal)
Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa seruan malaikat tersebut tidak hanya dikhususkan pada waktu pagi dan sore. Sepanjang waktu, mereka berdoa seperti itu. Tetapi dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa para malaikat berdoa khusus seperti itu pada waktu matahari terbit dan terbenam. Kenyataan dan pengalaman yang dapat dilihat menunjukkan bahwa kebanyakan orang yang mengumpulkan dan menyimpan harta telah disulitkan oleh hartanya sendiri, sehingga menyebabkan harta mereka binasa. Sebagian dari mereka ada yang menghadapi kasus sehingga harus berurusan dengan pengadilan, sebagian lagi menghabiskan harta mereka dalam permainan, ada pula yang menjadi sasaran para pencuri, dan sebagainya. Ibnu Hajar rah. a. menulis bahwa terkadang suatu kehancuran terjadi pada hartanya, terkadang juga menimpa pemiliknya, dan terkadang pemiliknya dijauhkan dari amal shalih. Sebaliknya, barangsiapa menafkahkan hartanya, maka hartanya akan diberkahi. Bahkan dalam sebuah hadits dikatakan bahwa barangsiapa menyedekahkan hartanya dengan baik, maka Allah swt. Akan menjaga harta yang ditinggalkannya. (Ihya'). Yakni, bahkan setelah kematiannya, ahli warisnya tidak merusak hartanya dan tidak membelanjakan hartanya untuk hal yang sia-sia. Apabila harta tidak disedekahkan, pada umumnya harta tersebut mendatangkan akibat buruk kepada anak-anaknya setelah ia meninggal dunia. Imam Nawawi rah.a. menulis bahwa pengeluaran harta yang disukai adalah pengeluaran untuk amal-amal yang baik, menafkahi keluarga, menjamu tamu, dan sebagainya. Qurthubi rah.a. berkata bahwa membelanjakan harta seperti ini termasuk ibadah fardhu dan sunnah. Akan tetapi, jika seseorang tidak membelanjakan hartanya untuk ibadah sunnah, maka ia tidak termasuk yang didoakan dalam keburukan tersebut. Akan tetapi dengan tidak menggunakannya untuk ibadah sunnah, berarti ia telah berbuat kikir, sehingga membelanjakan hartanya untuk ibadah yang fardhu dengan hati yang ikhlas tentu akan terasa sulit.



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab I Keutamaan Menginfakkan Harta, - Ayat ke-4

Ayat ke-4


"Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka infakkan. Katakanlah: Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219).

Keterangan
Harta adalah untuk diinfakkan. Jika memerlukan harta, ambillah menurut keperluan, dan sisanya hendaknya diinfakkan. Ibnu Abbas r.hum. berkata, "Harta yang berlebih setelah dinafkahkan kepada keluarga adalah 'afw. Abu Umamah r.a. meriwayatkan sabda Nabi saw., "Wahai manusia, harta yang berlebih yang ada pada dirimu (keperluanmu) sedekahkanlah, yang demikian itu lebih baik bagimu. Jika kamu menyimpannya, yang demikian itu buruk bagimu. Jika kamu menggunakannya sesuai keperluanmu, yang demikian itu tidak tercela. Dalam membelanjakan harta, mulailah dari orang-orang yang berada dalam tanggunganmu, dan tangan di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (yang diberi). 'Atha' rah.a. juga meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan 'afw adalah harta yang melebihi keperluan. (Durrul-Mantsur).
Abu Sa'id Al-Khudri r.a. berkata bahwa suatu ketika Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa memiliki kelebihan kendaraan hendaknya memberikan kendaraan tersebut kepada orang yang tidak memiliki kendaraan. Dan barangsiapa memiliki kelebihan bekal, hendaklah memberi bekal kepada orang yang tidak memiliki bekal." (Rasulullah saw. mengatakan hal tersebut dengan sungguh-sungguh) sehingga kami menyangka bahwa siapa pun tidak memiliki hak atas hartanya yang melebihi keperluan. (Abu Dawud). Sesungguhnya yang demikian ini adalah derajat kesempurnaan, yakni harta yang melebihi keperluan adalah untuk diinfakkan, bukan untuk dikumpulkan lalu disimpan.
Sebagian ulama mengartikan bahwa yang dimaksud 'afw adalah mudah, yakni menginfakkan hartanya dengan mudah sehingga setelah menginfakkan harta tidak menjadi susah, yakni menyulitkan kehidupan dunianya, dan karena mengabaikan hak orang lain (yang menjadi tanggung jawabnya) ia akan mengalami penderitaan di akhirat. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.hum. bahwa ada orang-orang yang selalu bersedekah dengan berlebihan sampai-sampai tidak ada sisa untuk makan bagi dirinya sendiri, sehingga orang lain harus memberikan sedekah kepadanya. Ayat tersebut turun sehubungan dengan adanya peristiwa ini. Abu Sa'id Al-Khudri r.a. berkata, "Seseorang telah datang ke masjid. Nabi saw. melihat bahwa orang tersebut dalam keadaan sangat susah. Maka beliau menyuruh orang-orang agar menyedekahkan pakaian kepadanya. Kemudian terkumpullah pakaian yang banyak sebagai sumbangan. Nabi saw. mengambil dua helai kain yang terkumpul tersebut kemudian beliau memberikannya kepada orang tersebut. Lalu Nabi saw. menganjurkan kepada orang-orang untuk bersedekah sekali lagi, sehingga orang-orang pun menyedekahkan harta mereka. Maka orang tersebut ikut menyedekahkan salah satu pakaian yang telah diberikan oleh Nabi saw. tersebut. Terhadap perbuatannya itu, Nabi saw. menampakkan kemarahannya dan segera mengembalikan pakaian tersebut kepadanya." (Durrul-Mantsur). Di dalam Al-Qur'an terdapat dorongan untuk menginfakkan harta sekalipun ia sendiri memerlukannya. Tetapi dorongan ini adalah untuk orang-orang yang sanggup melakukannya dengan senang hati, yakni bagi orang-orang yang lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Masalah ini akan dibicarakan secara terperinci dalam Ayat ke-38 nanti.







Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Bab I Keutamaan Menginfakkan Harta, - Ayat ke-3

Ayat ke-3




"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah swt., dan janganlah menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Q.s. Al-Baqarah: 19)

Keterangan
Hudzaifah r.a. berkata bahwa yang dimaksud dengan janganlah menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan adalah tidak mau menginfakkan harta di jalan Allah karena takut miskin. Ibnu Abbas r.hum. berkata bahwa maksud menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan bukan terbunuhnya seseorang di jalan Allah swt., tetapi tidak mau membelanjakan harta di jalan Allah swt.. Dhahhak bin Jubair r.a. berkata bahwa orang-orang Anshar selalu membelanjakan harta di jalan Allah swt. dan selalu bersedekah. Pernah suatu ketika, pada saat terjadi kelaparan selama setahun, pikiran mereka menjadi kalut sehingga mereka tidak mau menginfakkan harta mereka di jalan Allah swt.. Terhadap peristiwa inilah ayat tersebut diturunkan. Aslam r.a. berkata, "Ketika kami ikut serta dalam peperangan Konstantinopel, tiba-tiba sepasukan orang kafir yang besar jumlahnya datang untuk menyerang kami. Pada waktu itu, seseorang dari kaum muslimin masuk ke dalam barisan orang-orang kafir seorang diri sambil membawa pedang. Orang-orang Islam lainnya berteriak bahwa orang tersebut telah menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan. Abu Ayyub Anshari r.a. yang juga ikut serta dalam pertempuran tersebut berkata bahwa yang demikian itu bukan menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan. Ia berkata, "Mengapa kalian mengartikan ayat tersebut seperti itu, ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang kami alami. Ketika Islam mulai berkembang dan telah bermunculan para pembela agama, diam-diam kami, orang-orang Anshar, berpikir bahwa sekarang Allah swt. telah memberikan kemenangan kepada Islam dengan lahirnya para pembela agama, sedangkan harta benda kami seperti sawah, ladang, dan sebagainya, karena lama tidak terurus mulai rusak. Untuk itu, kami bermaksud untuk mengurusi dan memperbaiki sawah ladang. Terhadap peristiwa itulah ayat tersebut diturunkan. Dengan demikian, yang dimaksud menjerumuskan diri dalam kebinasaan adalah sibuk mengurusi harta kekayaan sendiri dan meninggalkan jihad." (Durrul-Mantsur).




Read More or Baca Lebih Lengkap ..

Selasa, 15 Desember 2009

Bab I Keutamaan Menginfakkan Harta - Ayat ke-2

Ayat ke-2







"Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, para nabi, dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat." (Q.s. Al-Baqarah: 17)

Dalam ayat ini, setelah menerangkan sebagian dari sifat-sifat mereka, Allah swt. berfirman, "Mereka adalah orang-orang yang benar, dan merekalah orang-orang yang bertakwa."

Keterangan

Qatadah rah.a. berkata bahwa orang-orang Yahudi selalu sembahyang ke arah barat, sedangkan orang-orang Nasrani ke arah timur. Berkenaan dengan hal inilah ayat di atas diturunkan. Masalah ini juga telah dinukilkan oleh beberapa ulama. (Durrul-Mantsur). Imam Jashshash rah.a. menulis bahwa ayat suci ini berisi bantahan terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani, yaitu ketika mereka menyangkal perpindahan kiblat (dari Baitul-Maqdis ke Ka'bah), maka Allah swt. menurunkan ayat ini yang menjelaskan bahwa kebajikan itu adalah mentaati Allah swt.. Tanpa mentaati-Nya, menghadapkan wajah ke timur atau ke barat tidaklah mempunyai arti apa pun. (Ahkdmul-Qur'an).
Memberikan harta karena cinta kepada Allah swt., maksudnya adalah, hendaknya memberikan harta kepada mereka (yang disebutkan dalam ayat tersebut) karena ingin memperoleh keridhaan Allah swt.. Janganlah membelanjakan harta untuk mencari kemasyhuran dan kehormatan, karena dengan niat semacam itu adalah sebagaimana dikatakan dalam pepatah:"Jika kebaikan rusak, dosa pasti diperoleh."
Yakni, sudah membelanjakan harta, di sisi Allah swt. bukan pahala yang diperoleh, tetapi justru dosa. Rasulullah saw. bersabda, "Allah swt. tidak melihat rupa dan hartamu (yang dilihat bukan berapa banyak harta yang diinfakkan, tetapi amal dan had, yaitu apakah niat dan tujuan dalam menginfakkan harta). (Misykat). Dalam hadits lain, Rasulullah saw. bersabda, "Yang paling aku takuti atas diri kalian adalah syirik kecil. Para sahabat r.hum. bertanya, 'Apakah syirik kecil itu ya Rasulullah?' Rasulullah saw. menjawab, 'Beramal untuk diperlihatkan'." Dalam berbagai hadits banyak sekali diperingatkan agar tidak membelanjakan harta karena riya.' Hadits yang membicarakan tentang masalah ini akan dijelaskan kemudian. Terjemahan di atas benar bila yang dimaksud adalah memberinya karena Allah swt., dan sebagian ulama menerjemahkannya dengan senang menyedekahkan harta'. Yakni hatinya merasa senang menyedekahkan hartanya dan samasekali tidak mengeluh, "Mengapa saya harus bersedekah, betapa bodohnya saya, dengan bersedekah harta saya jadi berkurang," dan sebagainya. (Ahkamul-Qur'an). Dan kebanyakan ulama menerjemahkannya dengan "mencintai harta", yakni walaupun ia mencintai harta, ia tetap membelanjakannya di tempat-tempat tersebut.
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa seseorang bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang dimaksud mencintai harta, karena setiap orang mencintai harta?" Rasulullah saw. menjawab, "Ketika engkau membelanjakan harta, pada waktu itu hatimu teringat akan keperluan-keperluanmu, kemudian muncul dalam hati kekhawatiran-kekhawatiran akan keperluan-keperluanmu tersebut, dan hatimu mengatakan, 'Umurku masih panjang, jangan-jangan aku memerlukannya.'" Dalam hadits lainnya, Rasulullah saw. bersabda, "Sedekah yang baik adalah membelanjaKan hartamu ketika sehat dan kamu memiliki harapan untuk hidup di dunia lebih lama. Jangan sampai kamu menunda-nunda sedekah sehingga ketika ruh hendak keluar dan maut sudah menjelang kamu baru berkata, 'Sekian untuk Fulan.' Karena pada waktu itu, harta telah menjadi milik Fulan (ahli waris)." (Durrul-Mantsur) . Maksudnya, ketika sudah tidak ada harapan untuk hidup dan sudah tidak mengkhawatirkan keperluan-keperluannya, seseorang baru berkata, "Sekian untuk masjid itu, dan sekian untuk madrasah itu." Padahal, pada saat seperti itu, harta tersebut seakan-akan telah menjadi milik ahli waris.
Ketika harta benda masih diperlukan, pada waktu itu orang belum mendapat taufik untuk menginfakkannya. Barulah ketika harta itu hendak pindah kepada orang lain (ahli waris), orang baru bersemangat membelanjakannya karena Allah swt..
Oleh sebab itu, syariat suci menetapkan bahwa sedekah pada waktu hampir meninggal dunia dapat diambil dari sepertiga kekayaan. Jika seseorang pada waktu seperti itu menginfakkan semua hartanya tanpa seizin ahli waris kemudian ia meninggal dunia, maka wasiat si mayat yang lebih dari sepertiga tidak sah. Dalam ayat ini disebutkan secara terpisah tentang membelanjakan harta untuk anak-anak yatim dan orang miskin, dan yang terakhir disebutkan tentang masalah zakat. Berdasarkan ayat ini dapat diketahui bahwa menginfakkan harta kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin adalah dari sisa harta setelah ditunaikan zakatnya. Keterangan tentang masalah ini akan dibicarakan dalam Hadits ke-1.



Read More or Baca Lebih Lengkap ..

What Does This Blog Talk? Blog ini Bicara Tentang...

This blog wanna share to all of you about greatness and amazing benefit of sedekah or giving. You wanna find that if we make sedekah, it will not decrease your wealth.

Let's read and get yourself enlightened !!

Lorem Ipsum

  © Blogger templates Romantico by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP